Mohon tunggu...
Andre Agustianto
Andre Agustianto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Jasa Tukar Uang Haram? Tunggu dulu…

2 Juli 2015   06:14 Diperbarui: 2 Juli 2015   06:14 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Lebaran dan unjung-unjung (berasal dari kata berkunjung) merupakan suatu tradisi menikmati kesyahduan hari raya Idul Fitri yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan umat muslim di Indonesia. Budaya masyarakat Indonesia yang gemar berpindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mencari penghidupan, membuat mereka rela berdatangan dari tempat yang jauh unuk menjadikan momentum berbahagia pada idul fitri sebagai ajang unjung-unjung yang menyatukan keluarga besar.

Tidak hanya berkumpul dan melepas rindu tentunya, seringkali dalam acara unjung-unjung seperti ini dimanfaatkan pula oleh mereka untuk berbagi rezeki kepada keponakan dan anak-anak kecil yang ada pada lingkup keluarga besar atau mereka yang dikenal. Saat memberikan sangu pun ada ciri khasnya tersendiri, yakni dengan uang baru. Inilah kemudian salah satu faktor yang melatar belakangi maraknya jasa penukaran uang receh baru saat tiba bulan Ramadhan pada masyarakat Indonesia, seperti yang sudah mulai tumbuh lagi akhir-akhir ini.

Untuk itu, meski permasalahan ini sudah sering dibahas pada tiap tahunnya, pada kesempatan kali ini, penulis ingin sekedar me-refresh ingatan pembaca sekaligus mencoba membuat analisa tentang hukum tukar uang baru/receh ini, dengan menggunakan pendekatan baru, sehingga memunculkan hasil kajian hukum yang relevan.

Bisnis Tahunan Anti Rugi

Cukup banyak dari kalangan masyarakat yg tergiur dengan bisnis musiman ini untuk dijadikan usaha sampingan menjelang lebaran. Setidaknya ada beberapa faktor yang memotivasi mereka untuk berkecimpung dalam usaha ini, antara lain:

  1. Sumber penghasilan tambahan. Ketika bulan Ramadhan tiba, terdapat beberapa usaha yang harus diberhentikan untuk sementara waktu karena menghormati mereka yang berpuasa, seperti warung makan misalnya, atau mungkin usaha lain yang sama. Nah, mereka dengan profesi seperti inilah yang seringkali tidak menyia-nyiakan peluang usaha sampingan jasa tukar uang ini
  2. Hasil yang terbilang lumayan. Seperti yang diceritakan Udin (kutipan dari situs pemerintah kota pasuruan) seorang penyedia jasa tukar uang ini menjelaskan jika dalam sehari dirinya bisa menghabiskan uang hingga Rp. 5 juta, lantaran banyaknya masyarakat yang berminat menukarkan lembaran uang baru, mulai dari pecahan Rp. 1000, Rp. 2000, Rp. 5000, hingga 10-20.000,-. Bahkan ia mengatakan jika dari hasilnya menggeluti bisnis musiman ini, pada tahun lalu ia mampu membeli motor matic baru. Luar biasa.
  3. Bisnis ‘anti rugi’. Karena dalam usaha ini, terjual atau tidak, uang tersebut tetap ada di tangan mereka. jika terjual mereka untung, ketika tidak terjual pun, uang tersebut dapat mereka pergunakan sendiri.

 

Praktik Lapangan

Sebelum lebih jauh masuk kedalam pembahasan hukum, alangkah lebih baiknya untuk terlebih dahulu penulis memberikan gambaran mengenai praktik tukar menukar uang yang terjadi dilapangan, guna menyamakan presepsi antara penulis dan pembaca sehingga mempermudah untuk menampilkan secara utuh gagasan dan pola pikir penulis. Para penyedia ini, biasanya mereka berkumpul dan bergerompol di pinggir jalan-jalan utama dengan memperlihatkan segepok uang yang terbungkus rapi dengan besaran recehan kepada setiap pengendara yang lewat, dengan jumlah yang bervariasi mulai dari pecahan Rp. 1000, Rp. 2000, Rp. 5000, hingga 10-20.000,-.

Terdapat dua model dalam bertransaksi, misalkan untuk mereka yang ingin menukarkan uang recehan sebesar 100 ribu dengan nominal recehan Rp. 1000, Rp. 2000, Rp. 5000,. Cara pertama yang digunakan adalah penyedia jasa tukar uang terlebih dulu dalam tiap jumlah 100 ribu-nya, mereka mengambil Rp. 5000-10.000, sebagai fee atas jasa mereka, sedang cara yang kedua adalah penyedia jasa memberikan jumlah yang setara dengan besaran yang ingin ditukarkan, kemudian penyedia jasa meminta upah dari jasa tersebut sebesar nominal Rp, 5000-10.000, menggunakan prosentase berkisar antara 5-10%, hingga mempersilahkan untuk tawar menawar.

Jual beli dan riba fadl

ulama membagi riba menjadi dua jenis: riba nasiah dan riba fadhl. Sederhananya, riba nasiah adalah kelebihan pembayaran dari pokok pinjaman yang dipersyaratkan ketika transaksi, sedangkan riba fadhl adalah kelebihan yang terdapat pada tukar menukar barang ribawi yang sejenis dengan melebihkan pada salah satunya. Terdpat 6 jenis barang ribawi yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw. di dalam hadis, yakni: emas, perak, gandum bulat, gandum panjang, kurma dan garam. Jelasnya praktik ribawi dicontohakan dengan, menukar emas satu dinar dengan emas dua dinar. Dahulu, riba jenis ini sering muncul karena kondisi masyarakat yang masih bertransaksi secara barter.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah uang kertas yang kita pergunakan saat ini masuk kategori barang ribawi?

Jika mengutip pendapat ulama Maliki dan Syafii yang mengatakan jika, ratio-legis (alasan yang memicu) menjadikannya emas dan perak dalam kategori benda ribawi adalah karena keduanya dipergunakan sebagai mata uang (al-tsamaniyah).

Maka, sudah barang pasti, jika uang kertas yang ada pada masa ini, yang juga memiliki fungsi sebagaimana yang terdapat pada emas dan perak pada masa lampau, akan terkena akibat hukum yang sama pula (qiyasi). Sehingga, jika diperjual belikan/tukar menukar dengan melebihkan pada salah satunya, akan terkena implikasi hukum haram riba fadhl.

Pendapat ulama terdahulu yang mengkategorikan uang kertas sebagai harta yang memiliki fungsi dan akibat hukum yang sama dengan emas dan perak, dipertegas oleh pendapat-pendapat mayoritas ulama kontemporer, hal itu ditandai dengan hasil ijtihad wajibnya mengeluarkan zakat uang (maal), jika telah mencapai nishab (besaran wajib zakat) dan haul (masa satu tahun).

Dengan memandang uraian dan pendapat ulama diatas, bisa diambil kesimpulan jika aktivitas tukar menukar uang receh baru menjelang lebaran, jika ditransaksikan dengan akad jual beli maka hukumnya haram, bila dilakukan dengan melebihkan besaran nominal pada salah satunya. Sebagaimana yang terjadi pada praktik tukar uang pada model pertama.

Skim akad ijarah?

Sebagai solusi menyiasati transaksi haram yang terjadi pada praktik ini, sebagian kalangan berpendapat, jika tukar uang receh ini bisa dikategorikan ke dalam akad ijarah ‘amal (sewa jasa dengan upah). Dengan memposisikan pihak penyedia jasa penukaran sebagai mu’jîr al-‘amal, dan pihak penukar sebagai musta’jîr al-‘amal. Sehingga dengan begitu perbolehkan untuk mengambil keuntungan pada penukaran uang sejenis yang diasumsikan sebagai upah/ujrah untuk penyedia jasa.

Perlu diperhatikan, meski dalam banyak tulisan yang membahasa hukum dengan tema seperti ini melarang keabsahan transaksi tukar uang receh dengan skim akad ijarah, namun dalam hal ini penulis memiliki pendapat lain, yakni dengan memperbolehkan praktik tersebut dengan menggunakan skim ini. Bahkan penulis melihat jika penggunaan skim sudah bahkan sangat tepat.

Seringkali orang yang mengharamkan karena terlebih dulu memaknai bahkan men-judge bahwa transaksi ini adalah transaksi jual-beli uang yang di siasati dengan ijarah, padahal tidak harus demikian. Menurut penulis, meski sangat tipis perbedaan yang terdapat pada transaksi antara jual beli dan sewa jasa, namun tetap yang dikuatkan adalah akad yang disepakati dan dipergunakan ketika transaksi. Bahkan sudah cukup jelas, kalimat dan iklan yang biasa tertulis pada aktivitas mereka dengan menuliskan “jasa tukar uang” sebagai bentuk penegasan jika yang mereka jual adalah jasanya, bukan uangnya.

Bukannya akad pembiayaan pada perbankan syariah dengan pinjam meminjam pada bank konvensional juga berbeda tipis? Sebagaimana yang sering diutarakan salah seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga yang mengatakan, jika salah satu cara mensyariahkan transaksi dalam lembaga keuangan syariah adalah mengganti istilah “pinjaman” dengan “pembiayaan”.

Dengan demikian pelarangan praktik tukar menukar uang dengan skim akad ijarah dengan mempersoalkan kejelasan besaran upah di awal akad yang tidak boleh berubah setiap waktu, sebagaimana yang sering dipersoalkan pada pembahasan-pembahasan serupa adalah juga kurang tepat. Bukannya besaran (harga) jasa yang hendak diperjual belikan itu menjadi hak bagi seorang penyedia jasa? Sebagaimana pembeli jasa juga memiliki hak untuk memilih menuruti besaran jasa yang dijual, menawarnya, atau bahkan menolaknya. Karena yang terpenting dari ujrah adalah besaran yang disepakati dan bisa diserah terimakan. Bukankah tukang reparasi HP seringkali sebelum memperbaiki HP yang rusak terlebih dahulu menawarkan harga perbaikan untuk sebelum pada akhirnya diperbaiki dengan menunggu persetujuan dari pihak yang menginginkan perbaikan?

So? Yang dibutuhkan pada saat ini adalah menggiring mereka untuk memahamkan jika yang mereka lakukan adalah menjual jasa, bukan jual beli uang. berikut larangan mengurangi jumlah uang yang ditukarkan, supaya tercipta suasana sewa jasa murni.

Selain itu, melihat dari sisi kemaslahatan, betapa besar dampak yang ditimbulkan dan kemanfaatan yang didapatkan dari kedua belah pihak. Praktik jasa tukar menukar uang ini bukanlah kasus baru yang menghebohkan, namun merupakan problematika tahunan yang selalu terjadi pada tiap tahunnya. Bahkan semacam menjadi kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat yang ingin merayakan lebaran dengan sanak famili. Dengan demikian sangat disayangkan jika ulama hanya merespon hal ini dengan menyuarakan haramnya riba dan anjuran menukar uang pada bank-bank yang meyediakan jasa seperti yang sudah-sudah, dengan tanpa memberikan solusi lain apapun.

Walhasil, jika praktik ini dianggap bermasalah, yang dibutuhkan dan diharapkan oleh mereka dari ulama adalah edukasi supaya terhindar dari praktik yang menyimpang, bukan sekedar himbauan dan ancaman dosa.

Solusi Lainnya?

Terdapat cara lain yang lebih aman dan terjamin. Bukan karena hukumnya, tetapi keamanan yang dimaksud penulis adalah dalam hal tukar menukar uang recehan baru pada tempat-tempat yang tidak resmi, terkadang terdapat dari mereka yang curang dengan memberinya uang palsu. Namun demikian hal tersebut tidak merubah pendapat penulis akan kebolehannya.

Oleh karenanya sebagai solusi lain jika memang ingin menukar uang receh, datanglah ke Bank Indonesia, karena mereka tidak memungut biaya sepeserpun darinya, 100 ribu ditukar dengan 100 ribu. BI juga menugaskan beberapa bank untuk membantu pelayanan tukar uang receh ini. Bahkan BI mengirimkan mobil-mobil stan penukaran uang di beberapa titik di ibukota (Jakarta) dan sekitarnya.

Pada akhirnya, motivasi penulis dalam meuangkan ide ini adalah bukan semata-mata untuk menabrak nilai-nilai syariah yang telah ada, namun ingin mewujudkan pola pemikiran baru yang didasari atas keprihatinan akan ketiadaan solusi yang cukup mewadahi transaksi musiman yang sangat susah dihindari ini. Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun