Mohon tunggu...
Andre Agustianto
Andre Agustianto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Bunga Bank Versus Riba Sebuah Pergulatan Pemikiran

2 Juli 2015   04:35 Diperbarui: 2 Juli 2015   04:35 1554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mochammad Andre Agustianto

Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Dalam dunia keilmuan, prinsip novelty atau kebaruan dalam menghasilkan kreasi berfikir merupakan sebuah hal yang penting, terutama yang erat kaitannya dengan penerapan hukum di masyarakat. Dengan penjelasan sederhana, semacam sebuah kewajiban bagi akademisi yang konsen di suatu bidang tertentu untuk mampu menghasilkan dan mewujudkan istinbat hukum baru yang bernuansa fleksibel dan relevan bagi kemaslahatn ummat, menyesuaikan dengan zaman dan tuntutan kebutuhan.

Dalam hal bunga bank dan riba misalnya. Perdebatan mengenai hal ini sudah banyak dibahas dalam literatur-literatur dengan berbagai bahasa. Setidaknya dari kesemuanya itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar: Pertama: mereka yang secara konsisten menolak dan mengharamkan bunga bank dan mempersamakannya dengan riba dalam sedikit banyaknya. Kedua, mereka yang menolak adanya kesamaan antara bunga bank dan riba hingga membolehkan secara mutlak. Ketiga, digadang sebagai kelompok modernis yang toleran, terlebih dahulu membedakan jenis bunga yang eksploitatif dan tidak, antara interest dan usury. Sederhanya bagi mereka yang toleran ini menolak penghalalan bunga bank secara mutlak sebagaimana mereka juga menolak pengharaman secara mutlak.

Dalam pandangan kelompok modern, peranan pemerintah dalam meregulasi besaran bunga, sebagaimana yang dilakukan oleh Bank Indonesia, dianggap sebagai langkah tepat dan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipisahkan dari peranan bank yang berfungsi sebagai lembaga intermediary yang pastinya membutuhkan dana dan biaya dalam operasionalnya. Oleh karena itu, wajar bank mengambil keuntungan dari bunga. Walhasil, selama besaran bunga yang diambil oleh bank itu menurut pada BI rate (interest), maka itu sah dan legal, tapi jika diatasnya (usury), haram. Seperti itulah kira-kira konsep usury dan interst secara simpelnya.

Kembali kepada tuntutan menghasilkan pemikiran yang bernilai novelty. Pernah suatu ketika berhasrat untuk mengambil pendapat ulama-ulama kontemporer yang modern mengenai hukum bunga perbankan konvensional, dengan cara mencoba untuk mengklasifikasikan pola transaksi menjadi pinjaman produktif dan pinjaman konsumtif. Seperti pemikiran Rashid Ridha dalam tafsir al-Mannar misalnya, yang bahkan menyesalkan pola pikir orang sekarang yang menyamakan secara 100% antara bunga bank dan riba yang diharamkan.

Akibat dari itu, terbesit pula pikiran untuk menyingkirkan sejenak bentuk ratio-legis pengharaman riba nasiah sebagaimana yang terbukukan pada literatur fikih. Untuk akhirnya mengganti dengan dengan motif pengharaman praktik tersebut dengan adanya "tindak kezaliman/eksploitasi" pada pihak yang berhutang. Yaa.. biar dikata ikut corak pemikiran yang kekinian. Oke, sampai disini saya (mencoba) sepakat.

Penjelasan teknis sederhanya begini, jika terjadi transaksi pinjam meminjam di perbankan konvensional dengan jumlah sekian dan dengan tenggat waktu sekian, dengan pengembalian berlebih dari pokok pinjaman (bunga), tidak bisa serta merta divonis sebagai riba yang diharamkan. Kita lihat terlebih dulu, apakah terjadi tindak kedzaliman disana? Apakah telah terjadi eksploitasi dalam pemberlakuan bunga itu? jika memang terjadi maka itu merupakan bunga a.k.a riba yang dilarang oleh Allah. Tapi tidak terdapat unsur penzaliman apapun disana, maka itulah pengejawantahan dari prinsip saling rela ('an taradhin) pada sebuah transaksi. Dengan tambahan apologi, toh, gak mungkin kan bank berani memberikan pinjaman kepada orang yang tidak potensial dan dinilai tidak layak/mampu mengembalikan. Sering kali logika ini kemudian dikaitkan dengan motif pinjaman konsumtif dan produktif.

Bukan itu saja, kalimat sakti yang kerap digunakan sebagai argument untuk mematahkan ketiadaan tindak aniaya/kezaliman sebagai pembenar pada transaksi bunga seperti ini adalah,:

"Coba kamu perhatikan, apa iya, pengusaha kaya yang pinjam modal di bank bertujuan untuk mengembangkan usahanya, ketika dia sukses dia akan merasa terdzalimi dengan bunga yang ada? tentu tidak kan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun