Bagi orang yang tidak menggemari klub sepak bola Arsenal, setelah membaca judul tulisan khususnya yang menekankan pada kata "juara" akan tertawa terbahak-bahak, menyinyir, bahkan dikatakan mimpi siang bolong. Tidak salah mengingat Arsenal selalu kalah bersaing di 3 kompetisi yang diikutinya pada periode kompetisi 2019/20.Â
Di Liga Inggris, posisinya saat ini hanya berada di posisi ke 9. Dengan sisa 3 pertandingan setelah melewati 35 pertandingan, untuk mencapai 5 besar secara matematis sulit.Â
Di Liga Eropa, sebuah lomba kelas dua yang mempertemukan klub-klub tingkat menengah di Eropa, Arsenal sudah terdepak setelah kalah dari Olympiakos.Â
Kesempatan terakhir ada pada Piala FA, namun peluangnya kecil mempertimbangkan lawannya nanti adalah Manchester City di mana dalam beberapa pertemuan terakhir Arsenal tidak bisa mengalahkannya.
Namun bagi penggemar Arsenal yang mengikuti perkembangan klub tidak hanya tentang lapangan bolanya saja, harapan untuk Arsenal menjadi lebih baik masih ada karena sang pemilik, Stan Kroenke, tidak tinggal diam.
Masa Suram
Covid-19 merupakan mimpi buruk bagi sebagian besar perusahaan seluruh dunia, termasuk klub-klub sepakbola. Namun untuk Arsenal, Covid-19 ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Â
Sebelum pandemi ini terjadi, sebetulnya Arsenal sedang dalam periode krisis seiring dengan terus menurunnya prestasi di lapangan sepakbola dan gonjang-ganjing Manajemen yang mengikuti.
Semua akar masalah bermula dari 4 tahun yang lalu, di mana untuk pertama kalinya dalam 16 tahun, Arsenal tidak masuk 4 besar. Seluruh penggemar Liga Inggris tahu jika sebuah klub sepak bola Inggris tidak mampu menempati 4 besar, kesempatan untuk mendapatkan pendapatan sangat besar melalui pembayaran hak siar televisi, hadiah dan sponsorship hilang seketika.Â
Belum lagi hilang juga kesempatan untuk bermain di Liga Champions atau kompetisi antar juara dari negara-negara Eropa yang ikut melipatgandakan pendapatan klub.
Dua tahun awal masa suram menghantarkan manager yang paling legenda Arsenal, Arsene Wenger, harus menerima bahwa sudah waktu baginya untuk tidak melanjutkan masa 22 tahun kepemimpinannya di lapangan sepakbola.Â
Sebagai penggantinya, Arsenal menunjuk Unai Emery, seorang manager asal Spanyol yang punya prestasi mentereng dari klub Paris Saint Germaint dan Sevilla pada tanggal 23 Mei 2018.
Unai Emery setali tiga uang dengan pendahulunya. Pada musim pertamanya, ia tidak mampu membawa Arsenal menembus 4 besar. Akibatnya kinerja keuangan mencatatkan untuk pertama kalinya sejak 2002, laporan keuangan Arsenal mengalami kerugian sebesar 27,1 juta atau Rp. 443 miliar.Â
Berbanding terbalik pada tahun sebelumnya yang masih mencatatkan keuntungan sebesar 56,5 juta atau Rp. 1,02 triliun. Walau Arsenal sebetulnya masih mampu meningkatkan pendapatan dari 388,2 juta atau Rp. 7,02 triliun ke 394,7 juta atau Rp. Â 7,14 triliun, namun peningkatannya tidak cukup signifikan untuk menutup kewajiban klub.
Biang kegagalan keuangan tentu diakibatkan oleh ketidaksesuaian prestasi yang diharapkan tercapai di lapangan bola dengan pengeluaran yang dilakukan klub.Â
Dalam menyusun anggaran, Arsenal  tampaknya masih tidak banyak mengubah biaya secara signifikan dengan harapan hanya dengan melakukan penunjukan Unai Emery dapat menghantarkan Arsenal masuk ke 4 besar Liga Inggris. Sebagai contoh adalah komponen gaji yang mencapai 51% pengeluaran klub. Arsenal hanya mampu menurunkan biaya gaji dari 204,9 juta atau Rp. 3,7 triliun  ke 200,8 juta atau Rp.3,6 triliun.
Di lapangan sepakbola, situasi masih saja sengkarut. Pada 13 laga awal Liga Inggris 2019/20, Arsenal hanya mampu meraih 18 poin. Terburuk setelah 25 tahun! Di setiap laga, Arsenal selalu kebobolan. Tidak mampu menang lawan tim-tim favorit lainnya atau istilahnya "klub enam besar" seperti Manchester United, Manchester City dan Liverpool.Â
Tampak kepayahan juga melawan tim-tim yang sebetulnya di atas kertas  Arsenal harusnya menang mudah mengingat materi pemain sepakbolanya termasuk kelas papan atas. Fans sudah lelah dengan cara pemain Arsenal bermain bola yang membosankan dan monoton. Hal ini terlihat dari cemooh yang terus dilontarkan kepada pemain-pemain hingga ke sang manager, Unai Emery.Â
Puncaknya, Granit Xhaka yang ditunjuk sebagai kapten lapangan yang harusnya dapat menjadi contoh pada pemain lainnya dan memastikan taktik manager berjalan di lapangan, ribut besar dengan para fans pada pertanding kandang melawan Crystal Palace. Unai Emery akhirnya harus mencopot posisi kapten dari Granit Xhaka untuk mendinginkan suasana antara klub, pemain, dan para fans.
Rentetan hasil buruk mengantarkan sang manager, Unai Emery, dipecat tanggal 29 November 2019. Posisinya digantikan sementara oleh Ljungberg yang kala itu manager Arsenal untuk usia 23. Para pemain pun gelisah. Pemain mega bintang Arsenal seperti Aubameyang akhirnya berpikir dua kali untuk kembali memperpanjang kontraknya yang habis pada tahun 2021.
Belum selesai permasalahan, akhirnya datang Covid-19. Mikel Arteta sebagai manager yang ditunjuk untuk menggantikan Unai Emery pada tanggal 13 Maret 2020 dinyatakan terjangkit penyakit menular tersebut akibat melakukan kontak dengan pemilik klub Olympiakos, Evangelos Mirinakis, yang beberapa hari sebelumnya sudah lebih dahulu dinyatakan positif Covid-19. Peristiwa ini memicu seluruh pertandingan Liga Inggris ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan.
Secara finansial, beban keuangan semakin menggunung. Arsenal menjadi klub terdepan yang melakukan pemotongan gaji pemain sepakbolanya walau sempat adanya penolakan dari beberapa pemain utama. Â
Pemotongan gaji ini diharapkan agar memastikan tidak adanya pemutusan hubungan kerja karyawan-karyawan di luar pemain yang bekerja di Arsenal. Hal ini berbanding terbalik dengan klub-klub kaya seperti Manchester City, Chelsea, dan Manchester United yang tidak melakukan pemotongan gaji pemainnya.
Langkah Sang Owner
Stan Kroenke mulai menjadi pemilik Arsenal sejak membeli sahamnya pada tahun 2007 bersama-sama dengan Alisher Usmanov di mana Stan Kroenke menjadi pemilik mayoritas.Â
Stan Kroenke tampaknya tidak sanggup menjalin hubungan baik dengan para penggemar Arsenal. Ia selalu dicemooh karena dianggap tidak menanam investasi uang yang banyak pada klub, hanya menjadikan klub sebagai sapi perah keuangan untuk mendukung bisnis globalnya, dan harus bertanggung jawab atas terus menurunnya prestasi Arsenal di lapangan bola.Â
Semua tampaknya berubah sejak Arsenal sudah tidak mampu bersaing menjadi 4 besar Liga Inggris. Stan Kroenke menginisiasi berbagai langkah-langkah untuk menyelamatkan Arsenal.Â
Secara sederhana, langkah-langkah ini secara berurutan ditujukan pada sektor kepemilikan saham, Manajemen dan pengelolaan klub, dan pengelolaan teknis sepakbola. Walau hanya tiga sektor, tetapi membutuhkan waktu yang tidak sedikit mengingat pihak dan uang yang terlibat sangat besar.
Kepemilikan Saham
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan antara Stan Kroenke dan Alisher Usmanov tidak terjalin mesra. Bahkan Alisher Usmanov, miliarder asal Rusia ini sering mengkritik terbuka melalui berbagai media tentang Stan Kroenke bahwa rekannya bukan pemilik yang bertanggung jawab dan tidak punya ambisi untuk membangun tim juara. Ia pun berkali-kali juga mengutarakan niatnya untuk dapat membeli saham Stan Kroenke dan menjanjikan investasi besar-besaran agar Arsenal kompetitif.
Ketidakharmonisan hubungan dua miliarder ini berdampak pada pengelolaan klub oleh Manajemen. Arsenal tidak mampu untuk mempertahankan pemain-pemain bintangnya seperti Van Persie, Cesc Fabregas. Akibatnya tiap tahun tim sepak bola kehilangan daya saingnya.
Agar permasalahan selesai dan Stan Kroenke bisa menerapkan visi serta langkah-langkah strategisnya, ia menawarkan untuk membeli saham Arsenal yang dimiliki Alisher Usmanov. Kesepakatan tercapai dan di bulan Agustus 2018 diumumkan ke publik, Stan Kroenke menjadi pemilik tunggal Arsenal setelah mengeluarkan dana sebesar 550 million atau sebesar Rp. 10 triliun untuk membeli saham. Sejak itu fokusnya ditujukan kepada Manajemen dan pengelolaan klub.
Manajemen dan Pengelolaan Klub
Untuk menerapkan visinya, Stan Kroenke melakukan perombakan di Manajemen Arsenal. Putranya, Josh Kroenke, secara aktif hari demi hari mulai terlihat sebagai perwakilan keluarganya untuk menangani berbagai isu yang melibatkan klub dan keluarga Kroenke.
Ivan Gazidis yang merupakan CEO Arsenal dalam tahunnya ke 10 pada akhirnya tanggal 19 September 2018 mengumumkan kepindahannya ke AC Milan Italia dengan jabatan yang sama. Tanggung jawab Ivan Gazidis selanjutnya dipercayakan kepada Raul Sanllehi dan Vinai Venkatesham.Â
Untuk mengurus operasional yang terkait bola diberikan kepada Raul Sanllehi yang sebetulnya baru bergabung ke Arsenal bulan Februari 2018 dari Barcelona. Sedangkan perihal komersial diberikan kepada Vinai Venkatesham yang sudah berpengalaman menangani hal serupa di Arsenal sejak tahun 2010. Setahun kemudian, untuk memperkuat Manajemen dari segi pengetahuan teknis sepakbola, Edu di rekrut sebagai technical director. Edu sudah dikenal oleh publik sebagai salah satu pemain Arsenal yang membawa juara pada tahun 2003/04 tak terkalahkan.
Dengan ditangani oleh 3 orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dan ahli dibidangnya masing-masing, diharapkan segala rumusan atas keputusan atas klub bisa lebih inovatif dan perspektif secara menyeluruh. Keputusan akhir tetap ada pada Josh Kroenke. Kedepannya cara seperti ini tampak akan terus dipertahankan oleh Kroenke.
Dari sisi pengelolaan finansial, Manajemen baru dituntut untuk dapat mengelola keuangan dengan kreatif agar tetap dapat mendukung performa di lapangan bola. Sebagai contoh pada bursa transfer musim panas atau sebelum memasuki kompetisi 2019/20. Arsenal dianggap salah satu klub yang berhasil menciptakan kejutan besar.Â
Walau di awal diestimasikan hanya mempunyai anggaran kecil dengan maksimal 45 juta, Arsenal berhasil melakukan beberapa pembelian sensasional. Nicolas Pepe (Lille), Dani Ceballos (Real Madrid), David Luiz (Chelsea), Gabriel Martinelli (Ituano FC), William Salliba (Saint-Etienne), sampai Kieran Tierney (Celtic) berhasil di gaet. Padahal untuk Nicolas Pepe sendiri harganya mencapai 72 juta.
Raul Sanllehi yang kali ini memimpin Arsenal dalam bursa transfer dipuji oleh berbagai pihak karena taktiknya yang berhasil. Kuncinya ternyata ada pada cara pembayaran transfer yang dikenal dengan installment plan (cicilan) atau orang Inggris mengenalnya dengan sebutan hire purchase (biaya perekrutan). Esensi dari pendekatan ini seperti halnya kredit, memberikan uang muka setelah adanya kontrak yang mengharuskan dilakukannya pembayaran tambahan selama waktu yang ditentukan.
Sebagai contoh kasus transfer Nicolas Pepe (Pepe). Sanllehi memasukkan skema cicilan pembayaran lima musim untuk meringankan beban keuangan. Jadi, walau Pepe dibanderol 72 juta, di awal Arsenal hanya perlu membayarkan cicilan 20 juta kepada pihak Lille. Kasus serupa terjadi dalam transfer William Saliba dan Gabriel Martinelli.
Majalah Forbes memperhitungkan dengan skema pembayaran lima tahun, Arsenal setiap tahunnya cukup merogoh kocek 4 juta untuk Saliba dari harga total 27 juta serta 1,1 juta untuk Martinelli dari harga total 5,5 juta.
Selama pandemi Covid-19, Stan Kroenke juga menyelamatkan keuangan Arsenal. Tidak hanya meminta pemain untuk rela gajinya dipotong sebesar 12,5%, Kroenke juga melakukan restrukturisasi pada pengeluaran yang signifikan antara lain memberikan pinjaman melalui perusahaan Kroenke Sports dan Entertainment (KSE) untuk membeli kembali obligasi yang pernah dikeluarkan Arsenal dalam rangka pembangunan stadium.Â
Total pinjaman yang diberikan mencapai 144 juta atau Rp. 2,6 triliun untuk membeli sisa obligasi yang saat ini dipegang oleh beberapa institusi keuangan. Diharapkan dengan pinjaman ini dapat menurunkan kewajiban pembayaran utang tetap dengan bunga yang lebih rendah.
Pengelolaan Teknis Sepakbola
Pasca Unai Emery dipecat sebagai manager karena rentetan hasil buruk, bila dijaman Ivan Gazidis tatkala merekrut Unai Emery, rekrutmen manager cukup sampai CEO, kali ini Josh Kroenke turun langsung sebagai interviewer terakhir.
Dari beberapa kandidat yang diajukan ketiga komandannya, Kroenke akhirnya memilih Mikel Arteta. Walau terbilang belum berpengalaman sebagai manager, Mikel Arteta mampu menganalisa dan menjelaskan dengan tajam kekurangan tim dari segi manajemen permainan dan nilai-nilai perilaku yang diterapkan serta rencana-rencana yang ia inginkan.
Pilihnya terbilang jitu. Sejak Arteta menjadi manager, cara bermain lebih terorganisir, pemain tahu apa yang harus diperbuat, dan sudah mulai mampu untuk mengimbangi tim-tim 6 besar Liga Inggris lainnya. Nilai-nilai perilaku yang diterapkan juga terlihat jelas bertumpu pada fokus, disiplin dan profesional. Korbannya sudah ada dan tidak pandang bulu.Â
Mesut Ozil yang dahulu sempat menjadi teman bermainnya tidak terpilih bermain. Pemain muda yang dianggap berbakat dan termahal Arsenal, Matteo Guendouzi, sudah tidak terpilih lagi sejak menolak minta maaf dan tidak datang rapat dengan Manajemen Arsenal untuk kasus perkataan kasar yang ia lakukan di pertandingan Arsenal melawan Brighton.
Perubahan-perubahan yang terjadi dilapangan mampu untuk mengubah pendirian beberapa pemainnya untuk tetap bermain di Arsenal. Pemain yang kontraknya tersisa 1 tahun seperti Bukayo Saka akhirnya menandatangani kontrak. Aubameyang sang pemain mega bintang diberbagai perbincangan sudah mulai mau bernegosiasi dengan klub tentang kemungkinan tinggal di Arsenal.
Kemampuan analisa yang tajam Mikel Arteta pun sangat dihargai oleh Manajemennya hingga dalam beberapa aspek manajemen, Mikel Arteta dilibatkan untuk didengarkan pandangan dan sarannya.
Kunci Keberhasilan Ke Depan
Seluruh permasalahan di luar lapangan bola sudah dibenahi oleh Stan Kroenke. Fokus ke depan harusnya ada pada lapangan bola. Di berbagai kesempatan melalui Mikel Arteta menyampaikan target kompetisi 2019/20 sudah realistis dan sudah menatap ke masa depan.Â
Pertaruhannya memang ada pada musim depan sebagai bahan evaluasi apakah segala sektor yang disentuh Kroenke dapat bekerja sesuai dengan harapan. Target terdekat ada pada pada bursa transfer musim panas untuk mencari pemain-pemain yang diinginkan Arteta. Raul Sanllehi sebagai pewakilan Manajemen sudah jalan secara diam-diam tanpa bisa diendus media.
Di bursa transfer, kebutuhan pemain paling banyak ada pada sektor belakang. Kemasukan 50-an gol pada setiap musimnya harus mulai dibenahi. Bila ingin juara, Arsenal harus bisa seperti Liverpool dan Manchester City yang hanya kemasukan 20-an gol dalam 1 musim.Â
Langkah membenahi sektor belakang sudah dilakukan dengan pinjaman atas Pablo Mari dan Cedric Soares dipermanenkan. Belum lagi Saliba akan hadir setelah kewajiban Arsenal meminjamkannya ke klub asalnya selesai. Ketiganya diharapkan mampu menghadirkan konsistensi yang tidak bisa diberikan oleh David Luiz, Mustafi dan Kolasinac.
Sempat terjadi perbincangan dikalangan penggemar Arsenal yang menyatakan Manajemen kurang tepat memberikan perpanjangan kontrak bagi David Luiz mengingat ia suka melakukan kesalahan dalam bertahan. Tetapi di musim depan, peran David Luiz tampaknya lebih berperan sebagai pelapis yang memberikan contoh kepada pemain muda dan pemain belakang lainnya bagaimana sektor belakang dapat menciptakan kesempatan gol bagi penyerang.
Di sektor tengah, Arsenal membutuhkan 2 pemain yang tidak hanya mampu mendistribusikan bola dari kaki ke kaki, tetapi juga dalam pemberian bolanya juga menciptakan kesempatan untuk membuat gol. Squawka melaporkan dari 10 pemain yang mampu menciptakan banyak kesempatan untuk membuat gol, Liverpool dan Manchester City menyumbang masing-masing 2 pemain. Liverpool diwakili oleh Mohamed Salah dan Trent Alexander Arnold, sedangkan Manchester City diwakili oleh Riyad Mahrez dan Kevin De Bruyne.
Arsenal memiliki pemain yang memiliki kemampuan tersebut di Mesut Ozil, tetapi dengan usia dan staminanya, kemampuan itu semakin menurun. Sayangnya hal ini berbanding lurus dengan kemampuan mencetak gol Arsenal. Bila sebelum musim 2019/20, Arsenal mampu mencetak 70-an gol dalam 1 musim kompetisi, di kompetisi ini Arsenal hanya mampu mencetak 50-an gol. Sangat mengherankan dengan penyerang sekelas Aubameyang, Lacazette, dan Pepe, gol yang dihasilkan hanya sebanyak itu.
Pada sektor depan, kehadiran pemain baru tidak diperlukan walau dua pemainnya antara lain Aubameyang dan Lacazette memasuki usia 30-an. Keduanya memang membutuhkan pelapis tetapi sudah dihadirkan melalui pemain akademi Arsenal, Bukayo Saka dan Eddie Nketiah, tahun lalu.Â
Sejauh ini, terlihat keduanya berusaha keras agar dapat mengikuti instruksi dan keinginan Arteta. Ke depan, pekerjaan rumah Arteta mengakselerasi kemampuan 2 pemain muda ini agar memiliki fisik lebih kuat, kemampuan menahan bola, dan lebih tajam dalam penyelesaian.
Berbeda skenarionya jika Aubameyang akhirnya tidak menemui kesepakatan dengan Arsenal. Maka, Arsenal membutuhkan 1 pemain berusia 26-28 tahun yang memiliki tipe dapat berperan sebagai wing forward dan striker yang dapat berganti-ganti dengan Bukayo Saka.
Sedangkan Pepe di bawah Arteta sudah jauh lebih baik dengan permainan yang lebih sederhana dan dimengerti teman-temannya, bahkan sudah mau untuk ikut membantu pertahanan. Satu kemampuannya yang masih belum muncul seperti performanya di Lille adalah pada penciptaan kesempatan. Ini mungkin yang akan diasah Arteta untuk musim depan.
Jika Manajemen Arsenal mampu berakrobat dengan situasi keuangan yang ada dengan menghadirkan pemain yang dibutuhkan dan sesuai kriteria Arteta, mari kita lihat kejutan apa yang akan dihadirkan oleh Arsenal di musim depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H