Mohon tunggu...
Inovasi

Curahan Hati Seorang Guru Swasta

4 Oktober 2015   19:32 Diperbarui: 4 Oktober 2015   19:59 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi guru, bisa jadi pilihan pekerjaan terakhir setelah gagal memilih pekerjaan yang diidam-idamkan. Apalagi menjadi guru di sekolah swasta pinggiran kota. Dengan bahan baku sisa-sisa siswa dari sekolah negeri yang kian menjamur, guru swasta harus berpacu dalam memberikan pelayanan agar anak-anak menjadi senang dan sekolah tersebut menjadi banyak peminatnya. Namun sayangnya, makna menyenangkan dan akhirnya diminati yang bersifat positif, akhirnya menjadi bergeser dan berkembang membabi buta demi menjaring peminat. Ambil contoh, kegiatan diluar tampak ditonjolkan, sedangkan peningkatan prestasi akademiknya biasa-biasa saja dan itu merupakan upaya untuk mendongkrak pamor sekolah dimata masyarakat, sehingga guru-guru tidak dituntut untuk mengembangkan ketrampilan mengajar guna meningkatkan kompetensi siswa. Apalagi dewasa ini kriteria kelulusan "seolah-olah" hanya ditentukan oleh nilai sekolah dan sedangkan nilai ujian nasional yang semula sebagai tolok ukur kini bergeser makna menjadi sebagai pemetaan saja.

Namun ada juga guru dari sekolah swasta yang memang secara loyal dan total melayani siswa. Para guru ini menyadari bahwa sekolah adalah sawah ladangnya. Panen tidaknya sawah tergantung bagaimana mereka bekerja. Mereka berkorban waktu dan tenaga lebih dari yang semestinya untuk mengantar siswa sampai pintu gerbang untuk meraih cita-cita mereka. Motivasi untuk mau sekolah saja sulit, apalagi untuk mau belajar dan memperoleh prestasi, sangatlah sulit. Menjemput siswa dan membawanya ke sekolah bukan hal yang aneh karena itu sudah menjadi tradisi bagi para guru swasta pinggiran. Kapan guru swasta bisa mengembangkan potensinya dalam hal mengajar? Itu pertanyaan yang masih belum dapat dijawab oleh para guru swasta.

Sekolah yang semestinya tempat untuk memperoleh pendidikan, bagi sebagian siswa hanya sebagai tempat untuk nongkrong menghabiskan waktu dan uang saku dari orang tua. Kebanyakkan diantara mereka karena berasal dari keluarga yang "broken" dan korban orang tua menjadi TKI dan TKW dimana dalam keseharian mereka para siswa hanya ditemani oleh nenek dan kakek atau orang tua pengganti yang justru sulit untuk kami ajak kerjasamanya karena berbagai faktor keterbatasan dari mereka. Sehingga kadang kami para guru sebelum mencerdaskan anak bangsa harus membentuk karakter building dulu, dimana ini lebih sulit dibandingkan hanya mentransfer ilmu. Kadang dalam canda keseharian muncul istilah "sekolah kami bukan tempat mendidik akan tetapi sebagai rumah sakit", dimana kami harus menyembuhkan pasien terlebih dahulu. Istilah ini lebih keren dibanding dengan "sekolah sebagai bengkel".

Sebenarnya mereka para siswa sangat membutuhkan curahan pengalaman dari guru-guru yang lebih punya banyak waktu mengembangkan tentang kiat-kiat sederhana dalam menyampaikan materi yang sulit menjadi mudah diterima siswa yang kemampuan intelektualnya rata-rata menengah ke bawah. Merekalah yang semestinya mendapatkan perhatian dari pemangku kepentingan yaitu pemerintah. Mengapa harus pemerintah? Karena amanat Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, mengandung makna Pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan warga negaranya.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun