Mohon tunggu...
Andre S.M Ritonga
Andre S.M Ritonga Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Orang yang mendua hatinya tidak akan tenang hidupnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Bank Sentral: Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Stabilitas Inflasi

12 Oktober 2024   23:19 Diperbarui: 12 Oktober 2024   23:31 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bank sentral memiliki dua tugas yang sering kali saling bertentangan: mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas harga melalui pengendalian inflasi. Dalam teori ekonomi modern, kedua tujuan ini diatur dengan kebijakan moneter yang melibatkan pengaturan suku bunga, pengendalian jumlah uang beredar, serta regulasi sistem keuangan. Namun, dalam praktiknya, mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inflasi yang terkendali adalah tantangan besar yang menciptakan dilema bagi bank sentral, terutama di tengah perubahan global yang dinamis.

Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dalam suatu perekonomian. Inflasi yang tinggi merugikan daya beli masyarakat, merusak kepercayaan terhadap mata uang, dan menurunkan standar hidup. Namun, sedikit inflasi dianggap sehat karena menandakan adanya peningkatan permintaan yang mendukung aktivitas ekonomi. Bank sentral sering menggunakan kebijakan moneter ketat untuk menekan inflasi, seperti menaikkan suku bunga yang akan membuat biaya pinjaman menjadi lebih mahal. Namun, kebijakan ini juga berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi karena menurunkan konsumsi dan investasi.

Bank sentral juga menghadapi dilema dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Kebijakan moneter yang terlalu agresif dapat memperburuk ketidakpastian di pasar keuangan. Misalnya, kenaikan suku bunga secara cepat dapat meningkatkan risiko gagal bayar perusahaan yang memiliki utang besar. Oleh karena itu, bank sentral tidak hanya mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhatikan stabilitas sistem keuangan secara lebih luas.

Stabilitas keuangan merupakan pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tanpa stabilitas tersebut, inflasi rendah atau tinggi sekalipun tidak akan banyak berarti. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa krisis keuangan dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan dampak inflasi saja.

Sebagai contoh, pada awal 2020-an, banyak negara menghadapi lonjakan inflasi akibat gangguan rantai pasokan, harga energi yang melonjak, dan ketidakpastian geopolitik. Untuk mengatasinya, bank sentral seperti Federal Reserve AS dan Bank Sentral Eropa menaikkan suku bunga secara agresif. Kebijakan ini berhasil meredam inflasi, tetapi di sisi lain, laju pertumbuhan ekonomi menurun dan ancaman resesi meningkat.

Di sisi lain dari dilema ini, pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap negara. Pertumbuhan yang kuat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan standar hidup. Untuk mendorong pertumbuhan, bank sentral cenderung menurunkan suku bunga agar kredit lebih murah dan investasi meningkat. Namun, pertumbuhan yang terlalu cepat tanpa diimbangi kapasitas produktif yang memadai dapat menyebabkan inflasi tak terkendali, menciptakan siklus ekonomi yang tidak stabil.

Contoh paling jelas dari dilema ini terjadi pada krisis finansial 2008. Sebelum krisis, bank sentral di banyak negara menerapkan suku bunga rendah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pasca-dotcom bubble di awal 2000-an. Namun, kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan besar dalam pinjaman berisiko, terutama di sektor perumahan, yang akhirnya memicu krisis finansial global. Pada saat itu, bank sentral harus mengambil tindakan drastis dengan menurunkan suku bunga mendekati nol dan menerapkan quantitative easing untuk menyelamatkan ekonomi dari resesi lebih dalam.

Pandemi COVID-19 menghadirkan tantangan baru bagi bank sentral di seluruh dunia. Kebijakan moneter yang longgar dan stimulus fiskal besar-besaran selama pandemi berhasil mencegah resesi yang lebih parah. Namun, ketika perekonomian mulai pulih, permintaan melonjak sementara pasokan masih terganggu, menciptakan tekanan inflasi yang signifikan. Di sinilah dilema bank sentral kembali muncul: bagaimana menyeimbangkan kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi tanpa memicu inflasi yang lebih tinggi?

Contoh yang relevan adalah Bank Indonesia, yang berada di persimpangan kebijakan antara mendorong pemulihan ekonomi pasca pandemi dan menjaga stabilitas inflasi. Dengan latar belakang inflasi yang relatif rendah pada awal pandemi, BI memilih mempertahankan suku bunga rendah untuk mendorong kredit dan investasi. Namun, dengan meningkatnya tekanan inflasi global dan volatilitas pasar, BI mulai mengkaji ulang kebijakan tersebut untuk memastikan tidak terjadi lonjakan harga yang tak terkendali.

Untuk menghadapi dilema ini, beberapa ekonom menyarankan pendekatan kebijakan yang lebih fleksibel, seperti targeting inflation fleksibel. Dalam kerangka ini, bank sentral memberikan perhatian tidak hanya pada inflasi tetapi juga pada variabel lain seperti tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, bank sentral dapat menunda pengetatan kebijakan moneter dalam jangka pendek untuk mendorong pertumbuhan, tetapi tetap berkomitmen menurunkan inflasi dalam jangka panjang.

Namun, ada risiko bahwa pendekatan ini dapat mengurangi kredibilitas bank sentral. Ketika pasar kehilangan keyakinan bahwa bank sentral akan bertindak tegas dalam mengendalikan inflasi, ekspektasi inflasi dapat meningkat, yang justru memperburuk kondisi. Oleh karena itu, setiap fleksibilitas dalam kebijakan harus disertai komunikasi yang jelas kepada publik dan pelaku pasar agar mereka memahami arah kebijakan moneter.

Dilema antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas inflasi menunjukkan betapa kompleksnya peran bank sentral dalam mengelola perekonomian. Tidak ada satu kebijakan yang bisa memuaskan semua tujuan secara bersamaan. Sebaliknya, kebijakan moneter selalu melibatkan kompromi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam konteks Indonesia, Bank Indonesia harus berhati-hati dalam menentukan suku bunga dan kebijakan moneter lainnya untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan stabilitas harga. Sementara itu, kolaborasi dengan kebijakan fiskal yang tepat dari pemerintah dapat membantu mengurangi beban yang terlalu berat pada kebijakan moneter.

Pada akhirnya, kebijakan moneter adalah seni dari ilmu ekonomi. Bank sentral harus pandai membaca dinamika ekonomi domestik dan global, serta menyesuaikan kebijakan untuk mencapai keseimbangan yang optimal di tengah tantangan yang terus berubah. Tantangan ini akan terus ada, dan bank sentral harus siap menghadapi dilema yang kompleks ini dengan kebijakan yang responsif dan bijaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun