[caption id="attachment_162783" align="alignleft" width="300" caption="Pemandangan Exotic Pulau Ohoieu"][/caption] Memang bukan pertama kalinya saya tiba di kota Tual, sudah dua kali saya melewati tempat ini dan hanya singgah sebentar di pelabuhan laut kota tual, baru kali ini untuk yang ketiga kalinya saya kembali dan mendarat di bandar udara perintis dumatubun langgur, hari itu juga ketika tiba, 3 jam kemudian saya langsung menuju ke sebuah desa di sebelah barat kepulauan kei kecil, tepatnya desa tersebut bernama “Ngilngof” saya menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit dari langgur sampai ke Ngilngof dengan menggunakan kendaraan bermotor diantar oleh salah seorang teman, jalanannya memang sudah di aspal namun sesekali kendaraan yang saya tumpangi rasanya seperti berjingkrak-jingkrak lantaran kondisi jalan aspal banyak yang rusak berlubang, ini memperlambat sepeda motor untuk sampai ke desa Ngilngof, kadang kaki terasa pegal karena sepeda motor yang tidak stabil melintas di jalanan berlubang, namun sesekali hilang rasa pegal karena dalam perjalanan saya bisa menikmati indahnya dataran kei kecil yang ditumbuhi oleh hamparan alang-alang berwarna hijau kecoklatan, jarang sekali menemukan pohon-pohon besar di tepian jalan, selain alang-alang, saya melihat banyak sekali tanaman singkong yang ditanam oleh masyarakat sekitar, luar biasa banyaknya,,, saat itu juga terlintas di benak saya bahwa memang benar kepulauan kei terkenal dengan makanan khasnya yaitu “enbal” karena bahan dasar untuk membuat enbal adalah “singkong”. Setibanya di Ngilngof, saya bertemu dengan salah seorang teman yang sudah mendahului saya disana, bung Rudy Fofid, sapaan akrabnya bung Rud, dan salah seorang kerabat yang saat itu diperkenalkan bung Rudy kepada saya adalah bung Ari Liefofid, kami langsung duduk dan bercakap-cakap mengenai hal-hal yang akan saya lakukan dan tujuan utama saya datang ke Ngilngof, tak terasa jam menunjukan pukul 21.00 wit, saya pun pamit dan kembali ke langgur melewati rute yang sama saat menuju ngilngof.
Perjalanan malam agak terasa lebih lama dibandingkan siang, selain kondisi jalan yang dilewati banyak terdapat lubang-lubang kecil dan gelapnya malam mempengaruhi jarak pandang, jadi untuk berkendara harus ekstra hati-hati. dalam perjalanan beberapa kali saya melihat ada kuburan-kuburan lama yang terletak tepat di bibir jalan, ini menambah sedikit suasana horor karena kesunyian malam ditambah suara binatang-binatang malam seperti kelelawar dan serangga, yang tak henti-hentinya mengeluarkan suara. Setelah menempuh perjalanan yang cukup menggelisahkan akhirnya saya bisa tiba kembali di langgur bertemu dengan teman-teman yang lain, karena kelelahan, setibanya disana saya langsung membaringkan badan dan tertidur pulas.
Keesokan harinya pagi-pagi sekitar pukul 7.30 wit saya dan beberapa teman kembali ke ngilngof, disana saya mulai berinteraksi dengan anak-anak muda yang adalah sahabat dan saudara bung Ari termasuk ayah dari bung Ari yang disapa dengan nama kecilnya yaitu Pa Hock, sekitar pukul 9.00 wit saya dan teman-teman bersama dengan bung Ari dan pa Hock, kami menggunakan perahu bot dengan bermesin yamaha 40 PK, tujuan kami adalah pulau kecil yang jaraknya sekitar 1 km dari pesisir pantai desa Ngilngof, nama pulau itu adalah Ohoieu (Ohoi= Pulau, bahasa masyarakat lokal di kei), hanya sekitar 5 menit kami mulai mendekati bibir pantai pulau ohoieu, dari jarak sekitar 200 meter sudah kelihatan indah dan eloknya pulau ini, lekukan lidah pasir(disebut nud oleh masyarakat sekitar) putih dan halus yang terbentuk nampak seperti elokan naga, ini menambah hasrat saya ingin cepat-cepat menancapkan kedua kaki di pasir pulau Ohoieu.
[caption id="attachment_162784" align="alignleft" width="300" caption="Pasir Putih Mirip Tepung Di Pulau Ohoieu"]
email: andre@virtualtech.co.id
Facebook: Andre Makatitta
Twitter: @andremakatitta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H