Pada tahun 1988, mobil JDM dibatasi oleh kebijakan bersama yang disepakati antara para pabrikan menjadi 280 PS atau setara dengan 276 HP dengan batas kecepatan tertinggi 180 kph diberlakukan oleh Japan Automobile Manufacturers Association (JAMA) demi keamanan berkendara. Hingga tahun 2004 batas Horsepower ditiadakan namun kecepatan tetap dibatasi 180 kph.Â
Banyak mobil JDM memiliki speedometer yang bertuliskan kecepatan maksimum 180 kph. Namun beberapa type Nissan sampai 190 kph, bahkan GT-R memiliki mekanisme untuk melepaskan speed limiter jika mau dikemudikan di Circuit.
JDM di Japan bukan hanya Japanese Cars. European Cars seperti Mercedes-Benz, BMW, Alfa Romeo, Peugeot, Audi dan lain-lain yang di export ke Japan dan spec nya telah disesuaikan dengan aturan berkendara disana, resmi menjadi JDM.
Jadi mobil merk Jepang yang bersliweran di Indonesia sebenarnya bukan JDM. Kita bisa mendekatkannya ke JDM dengan menyamakan spec nya A sampai Z sesuai aturan dan Market Jepang.Â
Itupun tetap saja belum truly JDM. Namun sekarang ini sebutan JDM bukan saklek ngomongin kesesuaian spesifikasi dengan aturan dan market Jepang, namun bicara mengenai modifikasi dan budaya otomotif. Â
The Kanjozoku
Sebutan JDM di kalangan penggemar mobil sekarang ini lebih merupakan semangat dan kultur. Tapi siapakah sesungguhnya yang memulai dan bagaimana budaya ini diciptakan? Adalah para street racer di bilangan Kanjo Loop; bagian dari Hanshin Expressway yang mengitari Kota Osaka di Jepang.Â
Berbeda dengan The Wangan Line di Tokyo dan Kanagawa yang jalanannya lebar serta banyak straight (jalan lurus), Kanjo lebih pendek, dengan beberapa section yang sempit, kombinasi straight dan cornering. Inilah salah satu playground legendaris bagi The Kanjozoku; sebutan bagi para street racer Osaka.Â