Mohon tunggu...
Andre Hendra Gunadi
Andre Hendra Gunadi Mohon Tunggu... Penulis - Every man's life is a fairy tale written by God's fingers

Shopping Mall Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Redupnya Pesona Pusat Belanja

22 Juli 2020   20:13 Diperbarui: 22 Juli 2020   20:10 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3 tahun lalu, Tirto.id pernah menulis artikel 'Akhir Cerita Pusat Belanja' tentang redupnya pesona pusat belanja di Jakarta & Tangerang, yaitu eX & Grand Serpong Mall. Sayang artikel ditulis kurang lengkap & tepat, karena eX (Entertainment Center) yang merupakan bagian dari Plaza Indonesia ditutup bukan karena sepi pengunjung atau tenant, tapi lebih pada strategi bisnis pengelola. 

Masih banyak pusat belanja lain di Jakarta yang saat itu sudah kalah bersaing yang bisa jadi contoh. Misalnya WTC Mangga Dua, Mangga Dua Square, Pasaraya Manggarai & Blok M, Plaza Semanggi, Blok M Plaza atau Pulogadung Trade Centre. 

Di Tangerang sendiri, selain Grand Serpong Mall, juga ada Serpong Plaza yang lebih dulu tutup, BSD Junction yang kesepian, SDC (Summarecon Digital Center) yang mengubah sebagian areanya menjadi sekolah, Mall Balekota, WTC Serpong & Metropolis Town Square yang jungkir balik dihajar mall pesaing atau Plaza Baru Ciledug yang ah entahlah.. 

Banyak sebab kenapa kalah bersaing. Mulai dari adanya pusat belanja yang lebih baru, lengkap & modern, kesalahan strategi sejak awal, mismanagement, tenant yang tidak up to date, maintenance fisik bangunan yang tidak maksimal atau keliru membaca pasar. Dalam kasus Grand Serpong Mall yang disebutkan di awal. 

Mall yang dimiliki property developer Gapura Prima Group ini sebetulnya memiliki lokasi yang cukup baik. Tepat berada di pinggir jalan tol Jakarta Merak, dekat dengan akses keluar & masuk tol dari arah Jakarta maupun Merak, merupakan kawasan superblock yang terintegrasi dengan hotel dan apartemen, ruko dan juga waterpark. Namun modal lokasi dan fasilitas saja tidak cukup. Mall ini tidak berhasil mengundang tenant-tenant besar & populer yang traffic puller untuk masuk & konsepnya lebih mirip trade center daripada mall. 

Pada era 1990 hingga 2000-an memang tengah booming konsep trade center yang diperkenalkan pertamakali oleh ITC Mangga Dua milik Sinarmas Land. Sejak dibangun pada 1989 hingga saat ini, bisa dibilang ITC Mangga Dua jadi trendsetter untuk konsep trade center. Kesuksesan ITC Mangga Dua membuat Sinarmas Land membangun ITC di beberapa wilayah, mulai dari Depok, BSD, Fatmawati, Permata Hijau hingga Surabaya.

Ini juga menginspirasi banyak property developer untuk membangun konsep yang sama. Seperti WTC Mangga Dua, Mangga Dua Square, e-Center di Supermal Karawaci atau Summarecon Digital Center (SDC). Ada juga yang mengkombinasikan trade center dengan mall. Ini yang dilakukan Grand Serpong Mall, TangCity Mall, Metropolis Town Square, WTC Serpong atau Depok Town Square. 

Namun, gaya berbelanja customer telah berubah. Ketika e-commerce makin memudahkan customer dalam berbelanja, dan grafik transaksi e-commerce terus meningkat, maka penjualan produk retail di trade center pun perlahan menurun. 

Meski berdasarkan beberapa penelitian, bahwa 85-90% penjualan retail saat ini masih dilakukan secara offline, sedangkan transaksi online hanya 10-15% saja, namun hal ini sudah membuat banyak gerai retail di mall yang menutup outletnya. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara di dunia.        

Persaingan ketat antar pusat belanja memang memaksa setiap pengelola pusat belanja untuk selalu beradaptasi dengan trend perilaku customer yang berkembang secara dinamis. Berdasarkan pengalaman selama ini, consumer spending behavior setiap daerah tidak bisa digeneralisir. 

Bahkan di Jakarta saja, consumer behavior di wilayah Utara & Barat yang lebih 'value for money' tidak sama dengan di wilayah Pusat & Selatan yang lebih royal. Makanya pusat belanja di Jakarta Utara & Barat lebih cocok diisi dengan tenant-tenant yang affordable branded. Nah ini berbeda dengan pusat belanja yang ada di Jakarta Pusat & Selatan yang tenantnya branded pun masih bisa diserap market.  

Terlepas dari consumer spending behavior yang berbeda, jualan mall itu ya utamanya jualan konten alias tenant! Kalau pusat belanja tenantnya tidak menarik ya jangan berharap traffic customer tinggi. 

Semakin lengkap varian tenant, baik yang branded/affordable branded store, ditunjang dengan fitur & fasilitas gedung yang baik, service excellence pengelola, program promosi yang mumpuni, wow factor dengan customer experience & selalu jeli membaca pasar, dijamin traffic customer naik, tenancy sales growth terus & rental charge lancar..

Talk is cheap memang! karena pada akhirnya keberhasilan pusat belanja ini tergantung dari visi & misi pemilik alias owner!

Apakah visi & misinya sejalan & seirama dengan professional yang mengelola pusat belanjanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun