Manja? Iya, manja. Tau gak, di antara anak kucing tersebut, keduanya membuntuti saya terus. Apalagi waktu saya makan. Mereka gak malu-malu manjat ke paha dan bahu buat nungguin bagiannya.
Tidak hanya sekadar itu. Si mama kucing pun ikut. Jadilah mereka bertiga mengurung saya dalam lingkaran pengharapan bagiannya masing-masing.
Tidak saja saat makan. Bila cuaca dingin menyerang yang membutuhkan kehangatan, ia gak segan-segan mojok di paha, perut, bahkan di tempat-tempat yang buat saya geli. Mentang-mentang ia jomblo kali ya, nempel-nempel seenaknya sama saya. Saya sudah ada yang punya, Cing. Hiks!
Tak jarang juga, saat saya salat, eh si kucing nongkrong di depan saya. Duduk manis di tempat sujud. Oalah, Cing!
Malah saat salat Magrib kemarin, ia ngajak bergelut tidak di waktu yang tepat. Saya yang sebelumnya tenang salatnya, dibikin takut dan geli, gara-gara kaki saya dicakar-cakarnya dari balik mukena. "Please, cing. Jangan sekarang!" batin saya.
Sehingga posisi duduk tahiyat akhir saya saat itu, menjadi tak sempurna. Tersebab si kucing nongkrong di kaki kanan saya. Huft!
Entah apa yang merasukimu, cing. Tapi saya gak bisa marah sama kamu. Malah kalau diingat-ingat seperti, kamu bikin saya tersenyum. Iya, saya kalau cerita tentang kucing ini udah senyum sendiri saja. Gak tahu kenapa. Yang jelas, saya menyayangi mereka tanpa harus menjelaskan alasannya.
Sama halnya dengan guru saya, mengutip pendapat Paolo Coelho, one is loved because one is love. No reason is need for loving.
20022020.
Solok, 20 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H