Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Overconfidence: Menguak Bahaya Bias yang Terlalu Sering Diremehkan

6 November 2024   11:32 Diperbarui: 6 November 2024   11:38 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam permainan catur, pion adalah bidak sederhana yang hanya bergerak satu langkah maju, dengan harapan kecil mencapai ujung papan untuk menjadi bidak yang lebih kuat. Namun, bagaimana jadinya jika pion merasa diri seperti raja? Pion yang terlalu percaya diri akan dengan mudah tersingkir dari papan, bahkan tanpa menyadari keberadaannya sebagai target empuk bagi lawan. Fenomena ini adalah analogi dari overconfidence---atau kepercayaan diri berlebihan---yang sayangnya, sering terjadi dalam kehidupan nyata. Ketika seseorang memandang dirinya jauh lebih unggul dari kenyataan, dampak negatifnya bisa menghambat kemajuan pribadi dan profesional mereka.

Kepercayaan diri adalah elemen penting untuk kesuksesan, namun bila kepercayaan ini berubah menjadi overconfidence, atau sikap percaya diri yang tidak rasional, ia berubah menjadi pedang bermata dua. Artikel ini mengeksplorasi apa yang terjadi ketika "pion rasa raja" ini muncul dalam karier, kehidupan sosial, dan dunia bisnis. Bagaimana overconfidence bisa muncul, apa saja bahayanya, dan bagaimana cara mengatasi jebakan mental ini agar kita bisa tetap melangkah maju tanpa harus "tersingkir dari papan permainan"?

Kepercayaan diri adalah kualitas yang dihargai oleh masyarakat modern. Rasa percaya diri memberikan keyakinan pada seseorang untuk mengambil tindakan dan meraih mimpi-mimpi besar. Namun, kecenderungan untuk merasa lebih kompeten daripada yang sebenarnya sering kali merupakan hasil dari "bias optimisme" yang ada dalam otak manusia. Secara alami, kita cenderung melihat diri kita dalam cahaya positif dan meremehkan risiko atau kesulitan yang ada di sekitar. Menurut penelitian dari Harvard Business Review, overconfidence muncul sebagai bentuk perlindungan dari rasa takut akan kegagalan. Dengan merasa sangat yakin, seseorang bisa menutupi ketidakpastian dan menghindari rasa takut, namun hanya sementara.

Di tempat kerja, seseorang yang memiliki overconfidence sering kali melebih-lebihkan kontribusinya. Mereka menganggap diri mereka lebih berpengaruh daripada kenyataan. Hal ini menciptakan pola pikir bahwa "saya bisa melakukan segalanya" atau "tidak ada yang bisa melakukannya sebaik saya." Padahal, ketika ekspektasi ini tidak sesuai dengan kemampuan nyata, hasilnya sering kali berujung pada kekecewaan dan kejatuhan yang berat.

Overconfidence dalam lingkungan kerja tidak hanya membahayakan individu, tetapi juga organisasi secara keseluruhan. Seorang pekerja atau pemimpin yang terlalu percaya diri seringkali gagal mendengarkan pendapat dari orang lain, terutama jika pendapat tersebut berbeda dari keyakinannya. Padahal, ide-ide yang berasal dari rekan kerja atau bawahan bisa membawa perspektif baru yang berguna. Dengan menolak masukan ini, mereka kehilangan peluang untuk memperbaiki strategi atau membuat keputusan yang lebih baik.

Di tingkat yang lebih tinggi, seorang pemimpin yang overconfident mungkin akan merasa terlalu yakin pada rencana atau strategi bisnis yang dia buat, bahkan ketika sinyal-sinyal risiko sudah mulai tampak. Menurut Fast Company, sikap ini bisa menjadi racun bagi perusahaan. Banyak perusahaan besar yang gagal karena pemimpin mereka mengabaikan masukan dari bawahan atau tidak mau mengubah arah meskipun pasar sudah menunjukkan tanda-tanda peringatan. Pemimpin dengan overconfidence melihat diri mereka seperti raja dalam perusahaan, sementara mereka sebenarnya hanya salah satu bagian dari keseluruhan sistem. Akibatnya, perusahaan bisa terjebak dalam krisis finansial atau reputasi, yang berawal dari keputusan-keputusan yang diambil tanpa dasar analisis yang kuat.

Selain itu, orang yang terlalu percaya diri cenderung mengambil risiko yang tidak perlu atau bahkan berbahaya. Ini terutama terlihat dalam pengambilan keputusan finansial, baik untuk individu maupun organisasi. Seorang investor, misalnya, yang merasa sangat yakin pada "naluri" atau analisis pribadinya mungkin akan mempertaruhkan seluruh aset pada investasi yang berisiko tinggi, tanpa memikirkan skenario terburuk. Hal ini sering kali berakhir dengan kerugian besar yang sebenarnya bisa dihindari.

Kepercayaan diri berlebihan tidak hanya berbahaya dalam dunia profesional, tetapi juga dalam kehidupan pribadi dan interaksi sosial. Seseorang yang terlalu percaya diri seringkali kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat. Mereka mungkin merasa bahwa pandangan mereka adalah yang paling benar, dan enggan menerima masukan dari orang lain, bahkan dari orang terdekat. Sikap ini membuat mereka terlihat arogan, tidak fleksibel, dan sulit diajak berdiskusi.

Selain itu, overconfidence juga dapat merusak hubungan dengan pasangan atau keluarga. Seorang individu yang merasa "lebih unggul" dari pasangannya mungkin akan sering mengabaikan kebutuhan atau perasaan pasangan. Mereka mungkin percaya bahwa mereka selalu tahu apa yang terbaik, tanpa menyadari bahwa sikap ini membuat pasangan merasa tidak dihargai atau diabaikan. Ketika konflik terjadi, orang dengan overconfidence akan cenderung menyalahkan pasangan, bukan merefleksikan diri sendiri. Hal ini bisa merusak hubungan secara bertahap, yang berujung pada perpecahan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi terlalu percaya diri. Salah satunya adalah pengalaman sukses di masa lalu. Ketika seseorang telah mengalami keberhasilan dalam suatu proyek atau situasi tertentu, mereka cenderung mengasumsikan bahwa mereka akan selalu berhasil. Menurut Leading People Right, pengalaman sukses sering kali membuat seseorang merasa tidak bisa gagal, dan mereka mulai meremehkan faktor-faktor eksternal yang bisa memengaruhi hasil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun