Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terlalu Banyak Orang Pintar, Kita Lebih Butuh Orang Bodoh

18 Oktober 2024   16:52 Diperbarui: 18 Oktober 2024   17:00 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era modern ini, kecerdasan dan keahlian menjadi nilai yang sangat dijunjung tinggi. Kita hidup di dunia di mana setiap organisasi berlomba-lomba merekrut orang pintar dengan harapan mendapatkan hasil terbaik. Namun, apakah memiliki terlalu banyak orang pintar dalam sebuah tim atau masyarakat benar-benar memberikan dampak positif? Atau justru sebaliknya, membuat segalanya menjadi lebih rumit dan kontraproduktif? Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana terlalu banyak orang pintar dapat membunuh produktivitas dan kreativitas, dan mengapa kita sebenarnya membutuhkan 'orang bodoh' yang memiliki cara pandang yang lebih sederhana dan tidak terikat dengan kerumitan intelektual.

Sebuah kesalahan umum yang sering kita jumpai adalah anggapan bahwa kecerdasan tinggi otomatis berarti hasil yang luar biasa. Tetapi, pada kenyataannya, terlalu banyak orang pintar dalam satu tim bisa menjadi pedang bermata dua. Banyak penelitian menunjukkan bahwa ketika sebuah kelompok dipenuhi oleh individu yang terlalu cerdas atau berbakat, justru terjadi penurunan efektivitas. Salah satu artikel di Inc. menyoroti bahwa tim yang terlalu padat dengan talenta berkualitas tinggi cenderung mengalami penurunan produktivitas karena setiap individu berusaha mendominasi dan mengambil keputusan sendiri-sendiri.

Faktor ini sering kali disebut sebagai "curse of knowledge" --- di mana orang yang terlalu pintar cenderung overthinking, membuat hal-hal sederhana menjadi terlalu rumit. Mereka juga cenderung lebih keras kepala dengan cara berpikir mereka, sulit menerima gagasan yang lebih sederhana atau praktis. Dalam beberapa kasus, mereka juga menjadi kurang kolaboratif karena merasa kemampuan mereka jauh di atas orang lain. Ini adalah salah satu alasan mengapa keberadaan 'orang bodoh' dalam tim justru bisa memberikan keseimbangan yang penting.

Konsep 'orang bodoh' di sini bukan merujuk pada orang yang benar-benar tidak memiliki kemampuan, melainkan pada individu yang membawa perspektif lebih sederhana dan pragmatis dalam menyelesaikan masalah. Darius Foroux dalam artikel Stoic Principles: Being Smart Is Not Always The Best Strategy menekankan bahwa sering kali, orang yang tidak terlalu pandai justru memiliki keunggulan dalam mengambil tindakan cepat dan efektif, tanpa terjebak dalam analisis yang berlebihan. Orang yang terlalu pintar cenderung mempertimbangkan semua kemungkinan, bahkan yang paling tidak relevan, yang akhirnya memperlambat proses pengambilan keputusan.

'Orang bodoh' yang dimaksud juga cenderung memiliki keberanian untuk bertanya dan mencoba hal-hal yang dianggap remeh oleh orang pintar. Mereka cenderung tidak terbebani oleh ekspektasi diri sendiri atau orang lain, sehingga lebih luwes dalam beradaptasi dan lebih gesit dalam mencoba solusi baru. Sementara itu, orang-orang pintar sering kali merasa tertekan untuk selalu benar dan selalu unggul, sehingga kurang mampu berinovasi atau mengambil risiko.

Sering kali, kita melihat bahwa inovasi besar lahir dari pemikiran sederhana. Sebagai contoh, banyak terobosan teknologi yang revolusioner dimulai dari ide yang tampak bodoh atau tidak terlalu kompleks. Orang-orang yang tidak terlalu terikat dengan kerangka berpikir yang rumit mampu melihat solusi dengan lebih jelas. Mereka tidak merasa perlu untuk selalu menciptakan solusi yang 'pintar' atau intelektual, tetapi lebih fokus pada apa yang bekerja secara praktis.

Sebaliknya, orang-orang dengan kecerdasan tinggi sering kali terpaku pada solusi yang rumit, bahkan ketika sebenarnya hal tersebut tidak diperlukan. Dalam dunia bisnis dan startup, hal ini juga sering terlihat. CEO Kara Goldin dari Hint, dalam wawancaranya dengan CNBC, menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah merekrut orang yang merasa paling pintar di ruangan. Menurut Goldin, orang-orang yang terlalu pintar cenderung mempersulit pekerjaan dan merasa diri mereka lebih baik dari yang lain, sementara pekerjaan yang paling berhasil biasanya datang dari tim yang mampu bekerja dengan kolaboratif dan fokus pada solusi sederhana.

Kebutuhan akan 'orang bodoh' sebenarnya juga erat kaitannya dengan humanisme dalam memecahkan masalah. Saat terlalu banyak kecerdasan di satu ruangan, sering kali tim cenderung terjebak dalam teori dan analisis berlebih tanpa benar-benar mendekati masalah dari sudut pandang yang sederhana atau bahkan emosional. Dalam banyak kasus, masalah sebenarnya membutuhkan pendekatan yang lebih praktis, empatik, dan kurang teoritis.

Dengan adanya seseorang yang tidak terpaku pada teori rumit, tim bisa lebih mudah mencapai kesimpulan yang efisien dan bermanfaat bagi semua. Inilah sebabnya mengapa orang yang tidak terlalu pintar, dalam konteks tertentu, dapat menjadi elemen yang vital dalam menciptakan tim yang lebih seimbang dan inklusif. Orang pintar mungkin tahu semua jawaban, tetapi orang bodoh berani untuk bertanya pertanyaan yang tepat.

Jadi, bagaimana kita menciptakan keseimbangan yang ideal dalam tim atau organisasi? Jawabannya terletak pada variasi dan inklusi. Kita memang membutuhkan orang pintar yang memiliki pengetahuan mendalam, tetapi pada saat yang sama, kita juga memerlukan orang yang berpikir lebih sederhana, lebih pragmatis, dan tidak terjebak dalam ego intelektual. Keberadaan orang yang tidak terlalu cerdas dalam tim justru bisa mengajak individu yang lebih pintar untuk melihat masalah dari sudut pandang baru.

Lebih penting lagi, kebijaksanaan tidak selalu datang dari kecerdasan intelektual. Orang yang tidak terlalu pintar sering kali lebih bijak dalam mengelola emosi, lebih jujur dalam menghadapi ketidakpastian, dan lebih berani mengambil risiko. Ini adalah kualitas yang sangat penting dalam dunia yang serba cepat dan tidak pasti seperti sekarang.

Kita memang hidup di zaman di mana kecerdasan dihargai lebih dari apa pun. Namun, terlalu banyak kecerdasan bisa menjadi racun bagi organisasi yang ingin maju dengan efisien. Keberadaan orang yang tidak terlalu pintar, atau lebih tepatnya orang yang berpikir dengan cara yang sederhana dan praktis, adalah hal yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan dalam sebuah tim. Mereka memberikan perspektif yang segar, mampu memecahkan masalah dengan cara yang lebih humanis, dan yang terpenting, tidak terjebak dalam ego intelektual.

Dalam dunia yang semakin kompleks ini, mungkin sudah saatnya kita berhenti menganggap kecerdasan sebagai satu-satunya jalan menuju sukses. Kadang-kadang, justru keberanian untuk berpikir sederhana adalah kunci untuk mencapai solusi yang lebih baik dan lebih cepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun