Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penindakan Kasus Kepemilikan Landak Jawa: Antara Perlindungan Satwa dan Tindakan Berlebihan

12 September 2024   20:33 Diperbarui: 12 September 2024   20:48 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepemilikan satwa liar yang dilindungi memang merupakan isu yang kompleks, terutama di Indonesia, di mana kekayaan biodiversitas menjadi salah satu kebanggaan nasional. Namun, bagaimana ketika penegakan hukum atas kepemilikan satwa liar dianggap terlalu berlebihan? Kasus yang menimpa Nyoman Sukena, seorang warga Bali yang memiliki seekor Landak Jawa (Hystrix javanica), membawa kita pada perdebatan mengenai keseimbangan antara perlindungan satwa dan keadilan hukum.

Pada pertengahan tahun 2024, Nyoman Sukena, seorang pria Bali yang sehari-hari bekerja sebagai petani, mendapati dirinya harus berhadapan dengan hukum setelah pihak berwenang menemukan seekor Landak Jawa di rumahnya. Landak Jawa adalah salah satu spesies yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di Indonesia. Meski satwa ini tidak terancam punah secara langsung, statusnya sebagai hewan dilindungi membuat kepemilikannya tanpa izin menjadi tindak pidana.

Kasus ini pun menjadi sorotan karena banyak pihak merasa bahwa Nyoman Sukena hanya seorang warga biasa yang tidak memiliki niat jahat terhadap satwa tersebut. Menurut laporan, landak itu ditemukan di sekitar ladangnya, dan Nyoman, yang tidak tahu-menahu soal hukum perlindungan satwa, membawanya pulang dengan niat baik. Namun, apa yang dianggapnya sebagai tindakan sederhana justru membawanya ke meja hijau.

Pihak berwenang segera mengambil tindakan, membawa Nyoman ke pengadilan dengan dakwaan yang cukup berat. Penangkapan dan penuntutan ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat mengenai apakah tindakan tersebut terlalu keras mengingat kondisi yang melatarbelakanginya.

Landak Jawa, seperti banyak spesies satwa liar di Indonesia, merupakan bagian dari ekosistem penting yang perlu dijaga kelestariannya. Hewan ini termasuk dalam kategori dilindungi karena perburuan ilegal yang marak serta perusakan habitatnya. Keberadaan landak ini juga vital dalam menjaga keseimbangan alam, karena ia berperan sebagai pengendali hama dan membantu penyebaran biji-bijian.

Organisasi konservasi seperti WWF dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terus melakukan kampanye perlindungan terhadap spesies ini. Menjaga agar spesies yang dilindungi tetap berada di habitat alaminya adalah salah satu upaya utama dalam mencegah penurunan jumlah populasi. Landak Jawa, dengan penampilannya yang unik dan berduri, sering kali menjadi target bagi para kolektor hewan, yang membuatnya rentan terhadap perburuan dan perdagangan ilegal.

Dalam upaya melindungi satwa liar, pemerintah Indonesia telah menerapkan sejumlah regulasi ketat yang melarang kepemilikan satwa liar yang dilindungi tanpa izin resmi. Kasus-kasus seperti ini biasanya ditindak tegas oleh penegak hukum untuk memberi contoh kepada masyarakat agar lebih sadar terhadap pentingnya menjaga kelestarian fauna yang ada.

Namun, kasus Nyoman Sukena menimbulkan pertanyaan tentang seberapa adil penindakan dalam kasus kepemilikan satwa liar. Sebagai warga yang awam tentang hukum, Nyoman mungkin tidak menyadari bahwa tindakannya melanggar hukum, terutama karena dia tidak bermaksud untuk memperjualbelikan atau mengeksploitasi landak tersebut.

Banyak pengamat sosial dan aktivis satwa yang menilai bahwa penegakan hukum dalam kasus ini terlalu keras, mengingat niat Nyoman yang tampaknya hanya ingin merawat satwa tersebut. Di satu sisi, perlindungan satwa liar adalah hal yang sangat penting untuk mencegah kepunahan. Namun di sisi lain, tindakan yang dinilai berlebihan ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pandangan masyarakat mengenai hukum konservasi.

Beberapa pihak juga menyoroti bahwa pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang satwa liar dilindungi mungkin lebih efektif daripada tindakan hukuman yang berat. Pengadilan dapat mempertimbangkan hukuman yang lebih bersifat edukatif, seperti denda ringan atau pelatihan konservasi bagi pelanggar pertama kali, daripada hukuman pidana yang bisa mengganggu kehidupan warga biasa seperti Nyoman.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya keseimbangan dalam penegakan hukum terkait perlindungan satwa liar. Regulasi yang ada saat ini memang dibuat untuk melindungi satwa dari kepunahan, namun implementasi hukum perlu mempertimbangkan latar belakang dan niat pelaku.

WWF sendiri dalam banyak kampanyenya menyebutkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah dalam menjaga kelestarian satwa liar. Mereka menekankan bahwa pendekatan yang lebih inklusif, dengan melibatkan masyarakat dalam konservasi, akan menghasilkan dampak yang lebih signifikan daripada pendekatan hukuman semata.

Pendekatan ini juga sejalan dengan pandangan dari US Fish and Wildlife Service, yang menekankan pentingnya "membuat rumah kita sebagai rumah yang ramah bagi satwa liar." Ini berarti bahwa masyarakat harus diberi pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mereka bisa hidup berdampingan dengan satwa liar tanpa melanggar hukum.

Edukasi dan penyuluhan tentang pentingnya konservasi satwa liar dan habitatnya perlu lebih digencarkan. Pengetahuan mengenai hewan dilindungi dan apa yang harus dilakukan ketika menemukannya di lingkungan sekitar perlu lebih disebarluaskan. Jika masyarakat diberikan pemahaman yang baik mengenai aturan dan regulasi konservasi, kasus-kasus seperti yang menimpa Nyoman Sukena dapat dihindari di masa mendatang.

Penindakan yang dianggap berlebihan seperti ini dapat menimbulkan efek jera, namun di sisi lain juga berpotensi merusak citra positif dari upaya konservasi satwa liar. Masyarakat mungkin menjadi lebih takut terhadap hukum daripada memahami pentingnya melindungi spesies yang terancam.

Alih-alih hanya berfokus pada hukuman, mungkin sudah saatnya pemerintah dan organisasi konservasi mengadopsi pendekatan yang lebih kooperatif dengan masyarakat. Memberikan insentif bagi warga yang melaporkan satwa liar yang terancam atau ditemukan di lingkungan mereka, misalnya, bisa menjadi langkah awal yang baik.

Kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi satwa liar harus tumbuh dari rasa tanggung jawab bersama, bukan hanya karena takut terhadap hukuman. Hanya dengan cara ini kita bisa menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara manusia dan satwa liar yang sama-sama menghuni bumi ini.

Kasus Nyoman Sukena dan Landak Jawa adalah contoh nyata dari bagaimana peraturan dan undang-undang tentang satwa liar dapat menyentuh kehidupan masyarakat awam. Meskipun perlindungan terhadap spesies yang dilindungi adalah hal yang sangat penting, pendekatan yang lebih manusiawi dan edukatif dalam penegakan hukum perlu dipertimbangkan agar tujuan jangka panjang, yaitu kelestarian satwa dan lingkungan, dapat tercapai.

Kita perlu menyadari bahwa menjaga kelestarian satwa tidak hanya tanggung jawab pemerintah atau organisasi konservasi, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai masyarakat. Namun, pendekatan yang terlalu keras bisa menciptakan jarak antara masyarakat dan tujuan besar tersebut. Edukasi, penyuluhan, dan kerjasama antara berbagai pihak adalah kunci untuk mencapai keseimbangan yang diinginkan, sehingga perlindungan satwa liar bisa terus berlanjut tanpa mengorbankan keadilan bagi individu seperti Nyoman Sukena.

Dalam dunia yang semakin kompleks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa tindakan perlindungan satwa tidak selalu hitam putih. Terkadang, di antara peraturan dan hukum yang ada, ada ruang untuk fleksibilitas dan pemahaman yang lebih dalam terhadap keadaan spesifik seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun