Kepemilikan satwa liar yang dilindungi memang merupakan isu yang kompleks, terutama di Indonesia, di mana kekayaan biodiversitas menjadi salah satu kebanggaan nasional. Namun, bagaimana ketika penegakan hukum atas kepemilikan satwa liar dianggap terlalu berlebihan? Kasus yang menimpa Nyoman Sukena, seorang warga Bali yang memiliki seekor Landak Jawa (Hystrix javanica), membawa kita pada perdebatan mengenai keseimbangan antara perlindungan satwa dan keadilan hukum.
Pada pertengahan tahun 2024, Nyoman Sukena, seorang pria Bali yang sehari-hari bekerja sebagai petani, mendapati dirinya harus berhadapan dengan hukum setelah pihak berwenang menemukan seekor Landak Jawa di rumahnya. Landak Jawa adalah salah satu spesies yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di Indonesia. Meski satwa ini tidak terancam punah secara langsung, statusnya sebagai hewan dilindungi membuat kepemilikannya tanpa izin menjadi tindak pidana.
Kasus ini pun menjadi sorotan karena banyak pihak merasa bahwa Nyoman Sukena hanya seorang warga biasa yang tidak memiliki niat jahat terhadap satwa tersebut. Menurut laporan, landak itu ditemukan di sekitar ladangnya, dan Nyoman, yang tidak tahu-menahu soal hukum perlindungan satwa, membawanya pulang dengan niat baik. Namun, apa yang dianggapnya sebagai tindakan sederhana justru membawanya ke meja hijau.
Pihak berwenang segera mengambil tindakan, membawa Nyoman ke pengadilan dengan dakwaan yang cukup berat. Penangkapan dan penuntutan ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat mengenai apakah tindakan tersebut terlalu keras mengingat kondisi yang melatarbelakanginya.
Landak Jawa, seperti banyak spesies satwa liar di Indonesia, merupakan bagian dari ekosistem penting yang perlu dijaga kelestariannya. Hewan ini termasuk dalam kategori dilindungi karena perburuan ilegal yang marak serta perusakan habitatnya. Keberadaan landak ini juga vital dalam menjaga keseimbangan alam, karena ia berperan sebagai pengendali hama dan membantu penyebaran biji-bijian.
Organisasi konservasi seperti WWF dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terus melakukan kampanye perlindungan terhadap spesies ini. Menjaga agar spesies yang dilindungi tetap berada di habitat alaminya adalah salah satu upaya utama dalam mencegah penurunan jumlah populasi. Landak Jawa, dengan penampilannya yang unik dan berduri, sering kali menjadi target bagi para kolektor hewan, yang membuatnya rentan terhadap perburuan dan perdagangan ilegal.
Dalam upaya melindungi satwa liar, pemerintah Indonesia telah menerapkan sejumlah regulasi ketat yang melarang kepemilikan satwa liar yang dilindungi tanpa izin resmi. Kasus-kasus seperti ini biasanya ditindak tegas oleh penegak hukum untuk memberi contoh kepada masyarakat agar lebih sadar terhadap pentingnya menjaga kelestarian fauna yang ada.
Namun, kasus Nyoman Sukena menimbulkan pertanyaan tentang seberapa adil penindakan dalam kasus kepemilikan satwa liar. Sebagai warga yang awam tentang hukum, Nyoman mungkin tidak menyadari bahwa tindakannya melanggar hukum, terutama karena dia tidak bermaksud untuk memperjualbelikan atau mengeksploitasi landak tersebut.
Banyak pengamat sosial dan aktivis satwa yang menilai bahwa penegakan hukum dalam kasus ini terlalu keras, mengingat niat Nyoman yang tampaknya hanya ingin merawat satwa tersebut. Di satu sisi, perlindungan satwa liar adalah hal yang sangat penting untuk mencegah kepunahan. Namun di sisi lain, tindakan yang dinilai berlebihan ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pandangan masyarakat mengenai hukum konservasi.
Beberapa pihak juga menyoroti bahwa pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang satwa liar dilindungi mungkin lebih efektif daripada tindakan hukuman yang berat. Pengadilan dapat mempertimbangkan hukuman yang lebih bersifat edukatif, seperti denda ringan atau pelatihan konservasi bagi pelanggar pertama kali, daripada hukuman pidana yang bisa mengganggu kehidupan warga biasa seperti Nyoman.