Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Misoginisme Ekstrem: Ancaman Sosial yang Seperti Kanker

8 Agustus 2024   18:07 Diperbarui: 8 Agustus 2024   18:17 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misoginisme ekstrem bukan sekadar kebencian terhadap perempuan; ia telah menjadi ancaman sosial yang merasuki banyak aspek kehidupan kita. Seperti kanker, misoginisme ini menyebar secara perlahan tetapi mematikan, mencemari pemikiran generasi muda, terutama melalui platform digital seperti YouTube, yang menargetkan anak laki-laki dan remaja dengan konten-konten misoginis. Laporan dari Institute for Strategic Dialogue (ISD) menunjukkan bagaimana algoritma YouTube mempromosikan konten "manosphere," sebuah sudut gelap internet yang mengajarkan kebencian terhadap perempuan dan memperkuat stereotip gender negatif.

Lanskap digital saat ini menjadi lahan subur bagi penyebaran misoginisme, dan ironisnya, platform yang seharusnya menyediakan ruang untuk ekspresi bebas justru digunakan untuk memperkuat pola pikir misoginis. Misoginisme yang ditanamkan pada usia muda dapat tumbuh menjadi kebencian yang lebih dalam dan lebih sulit diberantas ketika individu tersebut dewasa. Konten-konten berbahaya ini menargetkan anak laki-laki yang mungkin merasa tidak aman atau bingung dengan identitas mereka, lalu mengarahkan mereka pada ideologi yang berbahaya dan tidak sehat.

Di luar dunia maya, misoginisme juga muncul dalam bentuk lain, seperti dalam kasus pelecehan online dan penindasan terhadap perempuan. Sebuah laporan dari Stuff.co.nz mengungkapkan bagaimana pelecehan online sering kali disamarkan sebagai troll, namun dampaknya sangat nyata dan merusak. Korban seringkali dibiarkan dalam keadaan trauma, dengan sedikit atau bahkan tidak ada tindakan hukum yang diambil terhadap pelaku. Dalam banyak kasus, pelaku pelecehan online tidak dihukum, yang hanya memperburuk masalah ini dan mengirimkan pesan bahwa misoginisme adalah perilaku yang dapat diterima.

Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kasus Kanye West, yang memasukkan Taylor Swift dalam lirik lagunya yang bersifat misoginis tanpa izin. Tindakan ini menunjukkan bagaimana budaya pop pun tidak lepas dari pengaruh misoginisme, dan bagaimana figur publik yang memiliki pengaruh besar bisa menyebarkan pesan-pesan kebencian yang berbahaya kepada jutaan penggemar mereka. Tindakan ini memperkuat stereotip gender dan memperlakukan perempuan sebagai objek, bukannya sebagai individu yang setara.

Untuk melawan misoginisme yang semakin merajalela ini, diperlukan kombinasi dari pendidikan, penegakan hukum, dan diskusi yang berkelanjutan. Pendidikan adalah kunci dalam mencegah tumbuhnya kebencian ini sejak dini. Dengan mengajarkan kesetaraan gender dan mengatasi stereotip negatif sejak dini, kita dapat membentuk generasi yang lebih menghargai dan menghormati satu sama lain tanpa memandang gender.

Selain itu, penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku misoginisme, baik online maupun offline, sangat penting. Tanpa sanksi yang jelas dan tegas, pelaku akan terus merasa bahwa tindakan mereka tidak akan mendapatkan konsekuensi. Hukum harus diperkuat untuk melindungi korban dan memastikan bahwa pelaku misoginis mendapatkan hukuman yang setimpal.

Diskusi yang berkelanjutan juga diperlukan untuk terus mengedukasi masyarakat tentang bahaya misoginisme dan cara mengatasinya. Media, termasuk platform sosial, harus bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi yang benar dan mendidik, bukan justru memperparah masalah dengan membiarkan konten-konten yang merusak berkembang tanpa kontrol.

Misoginisme ekstrem adalah kanker sosial yang merusak tatanan masyarakat dari dalam. Hanya dengan upaya kolektif melalui pendidikan, hukum, dan diskusi berkelanjutan, kita dapat menghentikan penyebarannya dan membangun masyarakat yang lebih sehat dan adil bagi semua gender.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun