Keluhan banyak pihak akan kemacetan lalu lintas Jakarta telah menjadi sebuah perbincangan yang begitu umum. Begitu melekatnya kemacetan hingga menjadi kebiasaan, perilaku, dan bahkan cenderung menjadi budaya dan tradisi bagi warga Jakarta. Orang menjadi lupa betapa kemacetan menjadi sumber dari ketidakefisienan waktu dan biaya, serta salah satu penyebab tingginya stres yang dapat berakibat pada kualitas kehidupan.
Data menunjukkan lebih dari 1.000 kendaraan bermotor baru yang beroperasi setiap harinya, sementara pertumbuhan volume jalan di Jakarta kurang dari 1% per tahunnya. Pada tahun 2017, diperkirakan kemacetan lalu lintas menimbulkan kerugian mencapai Rp 67 triliun yang terakumulasi dari beberapa aspek seperti waktu, bahan bakar, dan kesehatan. Di samping itu, 80% polusi udara yang terjadi diakibatkan pembuangan gas hasil pembakaran kendaraan bermotor. Jika hal ini terus berlanjut tanpa ada kebijakan yang komprehensif, lalu lintas Jakarta diperkirakan akan mengalami kemacetan total pada tahun 2020.
Sejarah MRT
Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta merupakan salah satu solusi untuk mengurai kemacetan tersebut. Dibangun dengan konsep tata kota yang mengintegrasi dan mengoneksikan berbagai wilayah, MRT Jakarta lahir sebagai komitmen Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk menjawab persoalan kemacetan yang terus mendera lalu lintas Jakarta.
 Di samping itu, MRT Jakarta merupakan wujud keinginan besar Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk dapat memberikan layanan infrastruktur transportasi massal yang memadai; agar para warga Jakarta tak lagi terus menerus membiasakan hidup dalam kemacetan dan melupakan betapa buruknya imbas kemacetan terhadap kehidupan dan roda perekonomian.
Data Per 6 Juni 2018, Progres pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta fase I sejauh 16 KM yang menghubungkan Lebak Bulus hingga Bundaran HI terus menunjukkan perkembangan. Hingga saat ini, progress konstruksi dari proyek itu sudah mencapai 94,19%. Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar mengatakan progres tersebut mencakup konstruksi secara keseluruhan. Untuk pembangunan jalur bawah tanah sudah mencapai 96,59% dan pengerjaan jalur layangnya mencapai 91,82%.
Proyek yang dimulai November 2013 dengan total investasi mencapai 16 Triliun ditargetkan rampung fase konstruksinya Agustus 2018 sebelum perhelatan  Asian Games dan mulai beroperasi pada Maret 2019.
Sedangkan Fase II yang menghubungkan Bundaran HI - Kampung Bandan sejauh 8,6 KM direncanakan dimulai akhir 2018 dengan total Investasi mencapai 22,5 T. Mahalnya biaya MRT fase II dikarenakan kondisi tanah di wilayah DKI Jakarta yang kurang bagus dikarenakan banyak sungai dan dekat laut, sehingga diperlukan tipe struktur khusus dalam Kontruksi MRT Fase II.
MRT Fase I dengan Panjang Rute 16 KM dilengkapi dengan 12 Stasiun ( 6 Stasiun layang - 6 Stasiun Bawah Tanah) dengan 2 jalur yang terdiri dari struktur jalur layang sepanjang 9.810 meter, dilakukan dengan membangun viaduct (jembatan yang tersusun dari spans) yang terhubung dengan tiang kolom.Â
Viaduct terdiri dari lima bagian, yaitu struktur fondasi, pile cap, pier column, pierhead, dan box girder. Sedangkan untuk struktur bawah tanah ( Underground) dilakukandengan membangun Tunnel yang Membentang sepanjang enam kilometer, jalur bawah tanah dibangun menggunakan empat bor raksasa. Berada di kedalaman bervariasi (17,5-28 meter di bawah permukaan tanah), jalur bawah tanah terdiri dari enam stasiun di mana tiap stasiunnya terdiri dari dua lantai (concourse sebagai area komersil dan platform (peron) penumpang sebagai area menunggu kereta).Â
Terdapat dua terowongan yang menghubungkan koridor satu ini, yaitu jalur downtrack(southbound) yang mengarah dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Lebak Bulus dan uptrack (northbound) yang membawa penumpang dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia.