Dilansir dari undip.ac.id, sebagai narasumber pertama, dalam webinar bertajuk "Manajemen Budaya: Bahasa, Sastra dan Budaya Pasca pandemi", Dr. Ken Widyawati, M.Hum menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah mengubah nilai sosial budaya yang berimplikasi pada perubahan di berbagai bidang, di antaranya perubahan pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat hal kesehatan. Tidak berhenti di situ, lanjutnya, pandemi pun menjadikan hubungan solidaritas serta kekerabatan manusia sebagai makhluk sosial terkikis dan bergeser pada nilai dan pola pikir kehidupan baru. Hal ini berarti manusia---termasuk lebih luas lagi, bangsa ini---akan dihadapkan pada perubahan kebiasaan dan budaya yang sangat signifikan.
Tidak perlu banyak penelitian untuk menjelaskan ini. Lihat saja bagaimana perlahan tapi pasti, kebudayaan kita yang terkenal santun dengan berjabat tangan setiap bertemu orang, mulai digantikan dengan menempelkan sikut, yang mungkin memiliki esensi yang sama dengan salaman, tetapi aslinya tentu jauh dari kata "beradab". Walaupun dalam kurun waktu satu tahun ini, pasca vaksinasi yang dilakukan pemerintah, jabat tangan mulai tidak "malu-malu" lagi digalakkan. Namun, tetap saja ada yang berbeda setelah terjadinya pandemi.
Ada banyak hal memang yang berbeda dan tidak dapat kembali seperti semula sejak pandemi melanda negeri. Pandemi yang memberikan efek kejut luar biasa pada bangsa, secara tidak langsung memberikan perubahan pada sikap, cara, bahkan mental masyarakat, yang secara disadari atau tidak, mengubah wajah kebudayaan bangsa. Virus yang variannya semakin beragam, serta ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi, membuat bangsa ini lama-lama jengah. Ketika diminta berdiam diri di rumah saja, kemudian akses internet yang menjadi "teman", muncullah hasil kebudayaan yang---memang ini belum final, tetapi nyata---menjadikan bangsa ini terkenal sangat tidak sopan di dunia maya. Dilansir dari techno.okezone.com, hasil riset Microsoft menyatakan bahwa netizen Indonesia termasuk yang paling tidak sopan. Ini berdasarkan riset tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020 yang mana hasilnya, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei.
Pendidikan Menjadi Penanggung Jawab
Tidak bisa dimungkiri, pendidikan yang menjadi jalan menuju peradaban maju, tertohok akibat makhluk berukuran mikro ini. Pendidikan yang merupakan jalan menuju kebudayaan yang bermartabat, dikalahkan dengan kebijakan belajar dari rumah di awal-awal pandemi, yang sadar atau tidak menciptakan kebudayaan "tidak sopan" yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pendidikan pun kian semrawut. Tidak ada yang pernah membayangkan, pendidikan yang nyaman dengan pertemuan di bangku-bangku kelas, diskusi asyik berdekatan pendidik bersama peserta didik, penugasan dan atau ujian yang menggunakan berlembar-lembar kertas, digantikan dengan model tatap muka dalam jaringan (daring) alias lewat internet dengan memanfaatkan platform atau media-media sosial-virtual, yang akhirnya kita sebut pembelajaran jarak jauh (PJJ), yang ternyata kerap menimbulkan ketidakefektifan. Dilansir dari Republika.co.id, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan kasus meninggalnya tiga siswa merupakan peringatan bagi semua pihak untuk memperbaiki sistem belajar daring tersebut. Tiga siswa itu diduga depresi dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Depresinya siswa memang disebabkan banyak hal, tetapi dari sudut pandang penulis, banyaknya tugas dari setiap mapel yang diajarkan, di mana setiap mapel satu tugas, bahkan bila diperinci lagi, satu mapel dengan banyak kompetensi dasar (KD) yang masing-masing KD itu dibebankan tugas, menjadi penyebab utama kejadian tersebut. Artinya, pemberian tugas dalam pendidikan daring atau PJJ kehilangan "keberadabannya". Padahal, dalam kondisi luar biasa (pandemi), model pembelajaran yang biasa dilakukan saat tatap muka, tidaklah efektif diterapkan saat PJJ---tetapi tetap saja masih banyak yang melakukan.
Integrated Assignment Model?
Menurut para akuntan profesional, dunia pekerjaan akan terus berubah setelah adanya pandemi COVID-19. Hal ini disampaikan dalam webinar bertajuk ICAEW-AFA Bitesize Webinar on the Future of Work pada 22 Februari 2021. Dilansir dari economiczone.id, Mark Billington, Direktur Regional ICAEW, Greater China dan Asia Tenggara menyatakan bahwa hampir semua bisnis dan usaha menduga kehidupan kerja akan berbeda di masa depan, dibandingkan dengan masa sebelum pandemi. Maka, bertolak dari pernyataan tersebut, manusia dengan segala keterbatasannya, agar tetap dapat bertahan, haruslah terus beradaptasi; mengubah model atau cara bekerjanya, yang tentu bila dikaitkan dengan pembelajaran dalam pendidikan, berarti haruslah memiliki inovasi yang bertujuan agar kelangsungan diri tidak tergerus oleh pandemi.
Adalah Integrated Assignment Model (IAM), sebuah model pembelajaran di tengah pandemi yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak "mengerikan" yang tadi disebutkan dalam PJJ. IAM memfokuskan pembelajaran pada metode atau model yang berkonsep pada satu tugas untuk banyak mata pelajaran. Dengan kata lain, tugas-tugas yang dibebankan pada peserta didik dari setiap mapel, dapat dijadikan hanya satu tugas untuk beberapa mapel yang diajarkan di sekolah. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi para siswa yang sudah merasa terbebani dengan banyaknya penugasan sekolah di masa pandemi---selain kembali memanusiakan manusia (kaum terpelajar), yang itu merupakan bagian dari kebudayaan.
Langkah Konkretnya...
Diawali dengan menelaah KD dari setiap mata pelajaran, hal ini dimaksudkan agar menemukan titik temunya sehingga didapatkan materi atau bentuk penugasan yang sama/sejenis pada tiap-tiap mapel. Selanjutnya, setelah mendapatkan materi atau bentuk tugas yang sama/sejenis, para guru merumuskan secara bersama-sama Penugasan Terpadu yang nantinya itu digunakan untuk memenuhi KD dari masing-masing mapel tadi. Sebagai contoh, penulis menerapkan ini pada KD 3.5 dan 3.6 tentang Anekdot di Mapel Bahasa Indonesia, KD 3.5 dan 3.6 tentang scanning gambar dan penggunaan perangkat lunak pengolah gambar vektor di Mapel Dasar Desain Grafis, serta KD 3.3 tentang memahami konsep dan prosedur pameran karya seni rupa di Mapel Seni Budaya Seni Rupa. Adapun bentuk Penugasan Terpadu yang bisa dilaksanakan dari penjabaran langkah IAM tersebut, yaitu Gambar Ilustrasi/Komik bertema Anekdot, yang semodel dengan komik Tahilalats, yang nantinya akan dipamerkan atau dipajang.
Terlihat tidak berkaitan dengan erat dengan pembentukan jati diri bangsa, memang. Akan tetapi, bila ditilik lebih jauh, pembelajaran IAM melatih anak didik agar lebih memaksimalkan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat; memberikan banyak waktu untuk bersosialisasi, tidak habis waktunya hanya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang bertumpuk banyaknya. Dengan model pembelajaran ini, pendidikan kita akan kembali bergairah. Sebagaimana tujuan dari pendidikan yang ada di UU No. 20 tahun 2003, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Mengembangkan kemampuan dari penugasan yang menumbuhkan kreativitas. Membentuk watak karena anak didik dapat memanfaatkan waktunya selain mengerjakan tugas yang kerap dikerjakan dengan mengakses internet secara berlebihan. Bermartabat sebab anak didik tidak dibebankan banyaknya penugasan, pun gurunya lebih mudah dalam melaksanakan penilaian. Hingga akhirnya, cerdaslah kehidupan bangsa, berkembanglah potensinya, sampai menuju peradaban Indonesia yang jaya.
Peradaban Kita Lahir dari Budaya Perjuangan
Menilik pernyataan Seno Gumira Ajidarma (2021) bahwa kebudayaan pascamodern, tidak lagi dikenal apa itu pembedaan antara kebudayaan tinggi dan populer. Hal tersebut, bila menyangkut perihal  pandemi, berarti dapat diartikan bahwa kebudayaan pascamodern---sekaligus pasca pandemi, tidak lagi akan didominasi/dimonopoli oleh orang-orang "berduit" atau kalangan tertentu saja. Karena disadari atau tidak, suka maupun tidak, kebudayaan yang hadir di dunia, terkhusus Indonesia, kini menjadi sama saja setelah pandemi. Tidak ada pembedaan. Orang kaya-orang miskin wajib memakai masker, mencuci tangan, dan tidak berkerumun. Semua sama. Semua memiliki tanggung jawab dan hak yang sama. Perbedaan muncul hanya pada tataran materi atau tampilan, yang ujung-ujungnya kembali pada aturan baku yang sama, yang akhirnya membentuk kepribadian bangsa berupa hasil dari sebuah perjuangan melawan pandemi; budaya seorang pejuang yang melawan pandemi: senasib-sepenanggungan, layaknya dulu di zaman penjajahahan. Â
Ini seperti apa yang disampaikan oleh dosen Unika Soegijapranata, Dr. Krisprantono, M.A., bahwa bangsa ini perlu menghadirkan kembali memori perjalanan budaya masa lalu bangsa kita sebagai dasar untuk memahami perubahan. Dilansir dari undip.ac.id, dalam webinarnya, beliau bercerita tentang situs pabrik gula dan kota-kota lama sebagai memori yang darinya kita bisa memahami bagaimana revolusi industri yang melanda Eropa pada abad 19 pengaruhnya sampai ke Indonesia yang pada masa itu masih dikenal sebagai Hindia Belanda. Dan, kaitannya dengan pandemi, tentu kita harus bisa mengambil hikmahnya. Bagaimana kembali menguat, kembali melihat lebih dalam perjalanan berbangsa yang ada di masa pandemi. Bukan untuk membuka luka lama, melainkan membuat rumusan terbaru perjalanan kebudayaan bangsa pasca pandemi ini.
Ada di Tangan Siapa?
Adapun langkah nyata di atas yang sudah penulis sebutkan tadi merupakan salah satu kontribusi yang dapat dilakukan untuk mengairahkan perjalanan kebudayaan bangsa lewat bidang pendidikan. Namun, seperti kata Seno Gumira Ajidarma lagi, yang masih disampaikan dalam webinar yang sama, yang sudah disebutkan di awal tulisan ini, bahwa kebudayaan ditandai oleh perjuangan untuk melakukan artikulasi, disartikulasi dan reartikulasi makna, ideologi dan politik tertentu. Ini berarti andil kekuasaan, yang diwakili oleh ideologi/politik tertentu tadi, akhirnya menjadi pengetuk palu apakah kebijakan-kebijakan yang ada dan tercipta dari para pemikir negeri pasca pandemi itu dapat terlaksana di lapangan. Maka, ada sedikit satire yang semoga tidak menjadi pakem, yakni: Benar bahwa manusia berencana, Tuhanlah yang menentukan. Akan tetapi politisi mengabu-abukannya. Semoga tidak. Tabik!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI