Akhir-akhir ini telinga masyarakat Indonesia diperdengarkan dengan berbagai berita mulai dari investasi bodong Memiles, investasi kebun kurma bodong, penipuan investasi syariah, hingga investasi ke kerajaan palsu yang tiba-tiba muncul di Indonesia.Â
Kita pun seolah bertanya, mengapa sedemikian mudah orang Indonesia tertipu dan tergiur dalam urusan uang? Kejadian yang menimpa masyarakat Indonesia tersebut nampaknya akan sangat sulit terjadi jika Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan masyarakat Indonesia tinggi, seperti yang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo yang hari ini Selasa (28/1/2020) memimpin rapat terbatas tentang inklusi keuangan. Apa itu?
Pertama, Literasi Keuangan. Arti dari Literasi Keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan motivasi yang mempengaruhi pengelolaan keuangan seseorang. Semakin tinggi literasi keuangan seseorang, maka orang itu dapat semakin paham terkait risiko investasi keuangan, dan paham bagaimana cara mengelola uang agar memiliki manfaat yang tinggi untuk dirinya. Jadi, orang yang memiliki tingkat literasi keuangan tinggi akan sulit tergoda memberikan uangnya untuk investasi bodong dengan iming-iming untung besar atau investasi terhadap hal-hal yang tidak jelas atau di luar prinsip-prinsip baku keuangan.
Tingkat Literasi Keuangan di Indonesia masih cukup rendah dibanding negara tetangga di ASEAN, meskipun mengalami kenaikan di era pemerintahan Jokowi. Negara-negara di ASEAN rata-rata memiliki tingkat literasi keuangan yang cukup tinggi, yaitu di atas 80%. Sementara itu, di Indonesia tingkat literasi keuangan tahun 2019, yaitu 38,03% meningkat dibanding 2016 yang hanya 29,7%. Jadi, keinginan Presiden bahwa lembaga-lembaga pemerintah mampu meningkatkan literasi keuangan masyarakat Indonesia cukup beralasan dan akan melindungi masyarakat dari praktik-praktik investasi bodong.
Kedua, Inklusi Keuangan dapat dipahami sebagai seorang warga atau individu yang sudah mendapatkan pelayanan dari lembaga keuangan resmi dengan baik. Ketika seseorang sudah menjadi nasabah bank atau lembaga keuangan resmi lainnya, itu berarti inklusi keuangan sudah menjangkau orang tersebut. Inklusi keuangan dapat menghindarkan masyarakat dari praktik-praktik bank tidak resmi seperti rentenir, dll yang itu jelas menyusahkan dan merugikan masyarakat.
Sayangnya, di Indonesia tingkat inklusi keuangan masih rendah dibanding negara ASEAN. Masayarakat Indonesia yang sudah mendapatkan layanan dari lembaga keuangan per 2019, yaitu 76,19 % atau meningkat dibanding 2016 yang hanya 67,8%. Meski demikian, itu masih lebih rendah dibanding Malaysia (85%), Thailand (82%), bahkan Singapura (98%).
Berbagai upaya pun lantas telah dilakukan pemerintah selama ini untuk meningkatkan inklusi keuangan rakyat Indonesia seperti membangun dan memperluas keberadaan Bank Wakaf Mikro. Itu akan membantu masyarakat di pelosok yang masih kesulitan mengakses layanan bank-bank besar.Jadi, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat jelas bukan tanpa alasan, melainkan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang semakin baik ke depan. Semakin masyarakat paham dan mampu mengelola uangnya, maka makin sejahtera kehidupannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H