Selamat Tahun Baru, pembaca sekalian. Mudah-mudahan tahun yang baru ini membawa berkah dan rejeki yang baru pula. Termasuk semangat menulis lagi. Banyak sekali kegiatan yang berprioritas tinggi sehingga tidak sempat menulis update di blog ini. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan perjalanan ke Phan Thiet bulan akhir bulan September tahun 2010. Mudah-mudahan belum basi benar. Satu jam perjalanan dari Phan Thiet, ada kota pantai berikutnya yang bernama Mui Ne. Kota Mui Ne ini persis di pinggir pantai dan juga ada desa nelayannya. Karena pantai yang bersih, laut yang bersahabat dan angin yang besar, hotel-hotel di kota ini bagaikan jamur di musim hujan pertumbuhannya. Dari mulai hotel yang berkelas bintang sampai hotel melati yang bertarif $20 pun ada. Wajar saja, dimana ada kesempatan meraih tamu, perang tarif akan terjadi dengan sendirinya. Mui Ne menjadi sasaran wisatawan-wisatawan asal Eropa, terutama Rusia. Wisatawan Rusia begitu merajai wilayah ini, sehingga di kebanyakan tempat menulisan aksara Rusia (Cyriic) untuk mengundang mereka. Mirip Legian daerah ini. Tourist spot yang bisa dinikmati di Mui Ne antara lain adalah kampung nelayannya, Red Sand Dunes, Lotus Lake, dan White Sand Dunes. Kampung nelayan Kampung kecil ini sangat berbeda dengan keadaan Mui Ne “kota” yang begitu hingar bingarnya. Kampung ini seakan-akan bagian terpisah dari kota. Kehidupan yang sederhana, dan bersahaja sangatlah kontras dengan sekelilingnya. Di kampung ini rumah-rumah sederhana dengan cat rumah warna pastel khas Vietnam Selatan mewarnai kehidupan para nelayan ini. Ada beberapa rumah yang berfungsi sebagai pengolah hasil laut. Mereka memisahkan mana ikan yang bisa dijual ke kota dan mana yang bisa mereka konsumsi. Serba sederhana, dan sangat berbeda dengan keadaan pasar ikan di Kota Phan Thiet yang begitu sibuk dan modernnya. Satu hal yang meikat mata, perahu nelayannya. Perahu nelayannya bukan seperti sampan/perahu yang kita tahu selama ini. Mereka menggunakan “mangkok” bundar raksasa berdiameter 1.5 sampai 2 meter untuk melaut. Yang lebih menakjubkan lagi, hanya menggunakan satu dayung. Perahu mangkok – supaya lebih menggambarkan – ini terbuat dari anyaman bambu tebal. Supaya makin tidak ditembus air laut, para pengrajin perahu ini, melapisi anyaman bambu ini dengan kotoran kerbau yang dikeringkan dan kemudian dicampur dengan getah. Hasilnya, adalah lapisan keras seperti aspal. Yang bisa bertahan lama. Kalau rusak? Tiak perlu kuatir. Ada tempat “service” perbaikan perahu mangkok. Karena bentuknya yang simple dan relatif ringan, perahu mangkok ini bisa disimpan di rumah. Tidak seperti perahu normal yang ditambatkan di dermaga, atau lego jangkar di lepas pantai dengan resiko hilang atau hanyut. Perahu mangkok ini bisa disimpan di halaman rumah, dan besok paginya bisa dibawa ke laut. Untuk perahu mangkok dengan ukuran besar, cukup digelindingkan ke laut. Hidup memang sederhana dan praktis di kampung itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H