Mohon tunggu...
Andreas Lalenoh
Andreas Lalenoh Mohon Tunggu... -

Seorang yang biasa-biasa saja yang mempunyai minat sebagai wisatawan, penulis amatir untuk jurnal perjalanannya dengan fokus di sejarahnya, kehidupan masyarakat setempat, dan tentu saja dengan sentuhan makanan dan minuman di setiap tempat yang dikunjunginya. Dia tinggal di Sapa, Propinsi Lao Cai, Vietnam dan bekerja sebagai salah satu executive di sebuah Hotel di Sapa.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Setelah ke Phan Thiet, ke Mana Lagi?

6 Januari 2011   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:54 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat Tahun Baru, pembaca sekalian. Mudah-mudahan tahun yang baru ini membawa berkah dan rejeki yang baru pula. Termasuk semangat menulis lagi. Banyak sekali kegiatan yang berprioritas tinggi sehingga tidak sempat menulis update di blog ini. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan perjalanan ke Phan Thiet bulan akhir bulan September tahun 2010. Mudah-mudahan belum basi benar. Satu jam perjalanan dari Phan Thiet, ada kota pantai berikutnya yang bernama Mui Ne. Kota Mui Ne ini persis di pinggir pantai dan juga ada desa nelayannya. Karena pantai yang bersih, laut yang bersahabat dan angin yang besar, hotel-hotel di kota ini bagaikan jamur di musim hujan pertumbuhannya. Dari mulai hotel yang berkelas bintang sampai hotel melati yang bertarif $20 pun ada. Wajar saja, dimana ada kesempatan meraih tamu, perang tarif akan terjadi dengan sendirinya. Mui Ne menjadi sasaran wisatawan-wisatawan asal Eropa, terutama Rusia. Wisatawan Rusia begitu merajai wilayah ini, sehingga di kebanyakan tempat menulisan aksara Rusia (Cyriic) untuk mengundang mereka. Mirip Legian daerah ini. Tourist spot yang bisa dinikmati di Mui Ne antara lain adalah kampung nelayannya, Red Sand Dunes, Lotus Lake, dan White Sand Dunes. Kampung nelayan Kampung kecil ini sangat berbeda dengan keadaan Mui Ne “kota” yang begitu hingar bingarnya. Kampung ini seakan-akan bagian terpisah dari kota. Kehidupan yang sederhana, dan bersahaja sangatlah kontras dengan sekelilingnya. Di kampung ini rumah-rumah sederhana dengan cat rumah warna pastel khas Vietnam Selatan mewarnai kehidupan para nelayan ini. Ada beberapa rumah yang berfungsi sebagai pengolah hasil laut. Mereka memisahkan mana ikan yang bisa dijual ke kota dan mana yang bisa mereka konsumsi. Serba sederhana, dan sangat berbeda dengan keadaan pasar ikan di Kota Phan Thiet yang begitu sibuk dan modernnya. Satu hal yang meikat mata, perahu nelayannya. Perahu nelayannya bukan seperti sampan/perahu yang kita tahu selama ini. Mereka menggunakan “mangkok” bundar raksasa berdiameter 1.5 sampai 2 meter untuk melaut. Yang lebih menakjubkan lagi, hanya menggunakan satu dayung. Perahu mangkok – supaya lebih menggambarkan – ini terbuat dari anyaman bambu tebal. Supaya makin tidak ditembus air laut, para pengrajin perahu ini, melapisi anyaman bambu ini dengan kotoran kerbau yang dikeringkan dan kemudian dicampur dengan getah. Hasilnya, adalah lapisan keras seperti aspal. Yang bisa bertahan lama. Kalau rusak? Tiak perlu kuatir. Ada tempat “service” perbaikan perahu mangkok. Karena bentuknya yang simple dan relatif ringan, perahu mangkok ini bisa disimpan di rumah. Tidak seperti perahu normal yang ditambatkan di dermaga, atau lego jangkar di lepas pantai dengan resiko hilang atau hanyut. Perahu mangkok ini bisa disimpan di halaman rumah, dan besok paginya bisa dibawa ke laut. Untuk perahu mangkok dengan ukuran besar, cukup digelindingkan ke laut. Hidup memang sederhana dan praktis di kampung itu.

Red Sand Dunes Selepas dari kampung nelayan, perjalanan berlanjut ke Red Sand Dunes. Tempat ini ada di seberang pantai, dan rupanya semua tempat di Mui Ne merupakan pasir merah. Bukan tanah merah ya, tapi pasir merah. Tempat ini begitu terkenal, karena dekat dengan jalan raya dan mencolok mata. Bayangkan, begitu masuk kota Mui Ne, disuguhi pemandangan yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Sebuah bukit merah menyala yang bisa diluncuri slider. Ketika ditapaki, pasirnya seperti agak basah. Luas padang ini tidak terlalu luas. Menurut sang pemandu wisata, hanya sekitar 750 meter persegi. Karena angin, makan bentuk padang ini berubah-rubah setiap saat.
Lotus Lake Perjalanan ke Lotus Lake dari Red Sand Dune menghabiskan waktu kira-kira 45 menit, karena harus membelah kota Mui Ne. Pegunjung akan menemukan hutan cemara yang ada di pinggiran kota Mui Ne dengan hamparan danau luas. Inilah Lotus Lake.
Danaunya memang luas, dan jernih. Sempat terpikir untuk berenang di sana, tapi menurut guide, jangan berenang. Kalau mau berperahu sudah cukup. Beliau menerangkan karena di dasar danau banyak sekali rumput laut yang panjang-panjang dan bisa menjerat. Kalau sudah dijerat, dan meronta-ronta, kemungkinan untuk muncul kembali ke permukaan makin kecil. Jadi lebih baik berperahu. Sayangnya, ketika itu tidak terlihat satu perahu pun disana. Dibelakang danau, terlihat lagi hamparan padang yang mirip dengan Red Sand Dune. Tapi kali ini, pasirnya lebih putih dan lebih halus. Dan padang pasir ini sangat luas. Jauh lebih luas dibanding Red Sand Dune. Karena pasirnya lebih halus, maka mendaki padang pasir ini juga semakin menguras tenaga. Apalagi waktu itu sedang di penghujung musim panas, dimana panas sedang sangat menyengat. Mungkin inilah rasanya berada di padang pasir betulan di Arab sana.
Begitu puas sudah bermain-main di padang pasir sana, kembali ke Lotus Lake untuk minum sebanyak-banyaknya sambil beristirahat di hutan cemara yang rindang dan mengumpulkan tenaga lagi untuk kembali pulang ke hotel. Kebetulan di dekat tempat istirahat, ada calon pegantin yang sedang melakukan pre-wedding photo. Salah satu crew photo menggunakan Utility Jeep keluaran American Motors tahun 60an yang masih original. Jeep ini memang pertama di pakai setelah keluar dari pabriknya, di era Perang Vietnam.
Sebetulnya masih banyak obyek wisata yang bisa di nikmati di Mui Ne dan Phan Thiet. Tapi karena waktu yang tersedia sangat terbatas, maka hanya tempat-tempat yang mempunyai makna lebih lah yang dipilih. Perjalanan 5 jam kembali ke Ho Chi Minh City pun sudah menanti. Dengan kulit lebih gelap dan bau gosong karena tertempa matahari pantai menjadi oleh-oleh tersendiri bagi orang-orang gunung di Sapa. [Andreas Lalenoh/October 2010]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun