Mohon tunggu...
Andreas Hassim
Andreas Hassim Mohon Tunggu... -

Andreas Hassim adalah seorang bankir profesional, perjalanan karir dimulai dari Bank Danamon Indonesia kemudian hijrah ke Bank Rakyat Indonesia sampai saat ini. Dan saat ini sedang mendapat tugas belajar pasca sarjana di Cleveland State University, Ohio, Amerika Serikat. Selain sebagai seorang praktisi perbankan ybs sangat tertarik menulis analisis berkaitan dengan makro ekonomi, perbankan & keuangan serta tulisan-tulisan ringan dalam mengkritisi kehidupan. Beberapa tulisan sudah dimuat di Investor Daily, Kontan, Majalah Infobank dan majalah-majalah Internal BRI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Renungan Esok Hari

31 Desember 2015   15:12 Diperbarui: 31 Desember 2015   15:12 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita ini menggelitik saya juga karena sudah sering didengar namun seringkali saya gagal mempraktikkannya dalam keseharian. Ya begitulah manusia, yang lebih senang menasehati dibandingkan mempraktikkannya, lebih senang menyalahkan orang lain dibandingkan instropeksi, lebih memilih merubah dunia dibandingkan merubah 1 kebiasaan buruk dirinya karena menurutnya lebih sulit merubah diri sendiri dibandingkan merubah dunia. Setelah dua tahun saya tidak lagi menulis tulisan ringan semacam ini, di akhir tahun 2015 ini saya kembali membuka catatan-catatan di keseharian saya untuk mengungkapkan hal-hal yang telah terjadi dan lagi-lagi bukan karena saya “lebih baik” tetapi justru merefleksikan kelemahan yang saya miliki (lebih senang menasehati dibandingkan mempraktikkannya) dalam sebuah tulisan otokritik.

 

Tulisan ini tidak saja ingin mengirimkan pesan bahwa Sang Pencipta memiliki rancangan yang maha dahsyat kepada setiap pribadi seperti cerita di pembukaan tadi, tetapi kali ini saya juga ingin mengingatkan diri saya bahwa ada tiga pesan yang perlu dipegang untuk menjalani tahun 2016 dengan optimisme.

 

Pertama, bekerjalah lebih. Saya banyak mendengar berbagai kisah sukses para pesohor yang memang melakukan investasi waktunya secara optimal bahkan menggunakan waktu luangnya secara efektif. Namun, hal ini bukanlah berarti harus berkutat di kantor secara berlebihan karena seharusnya pekerjaan kantor dapat efektif dikerjakan sesuai dengan jam kerja dan beban kerja yang ditetapkan. Sistem kerja yang baik harus dapat mengoptimalkan SDM yang tersedia dengan alokasi pekerjaan yang seimbang sehingga hasil kerja dapat optimal kualitas maupun kuantitasnya. Sebaliknya, pekerja perlu membangun kapasitas individu (capacity building) yang dibutuhkan sehingga pekerjaan yang dilaksanakan dapat lebih baik lagi kualitas dan kuantitasnya. Untuk itu, hal pertama yang harus dicari atau dibangun oleh pekerja adalah passion dalam menjalankankan profesionalitasnya, layaknya seorang Lionel Messi yang dengan semangat berlatih menggiring bola tanpa mengenal lelah atau seorang Michael Jordan yang berlatih melompat lebih tinggi untuk melampaui lawannya. Pekerjaan yang dilaksanakan dengan sukacita tentunya akan menghasilkan hasil yang juga optimal, apalagi jika sudah menjadi hobi.

Kemudian, setelah menemukan passion maka kita harus fokus mengembangkan kompetensi diri sesuai dengan passion yang kita pilih. Jika saya memutuskan menjadi banker maka waktu, pikiran, bacaan, diskusi, tontonan dan lain-lainnya harus yang berhubungan dengan passion yang saya pilih.

Selanjutnya, bekerja lebih berkaitan erat dengan keberuntungan. Thomas Alva Edison pernah berkata kalau keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. Bekerja lebih dalam mengembangkan kompetensi diri akan menolong kita untuk senantiasa siap ketika kesempatan itu datang sehingga keberuntungan lepas keberuntungan menjadi bagian dari perjalanan hidup.

Bekerja lebih yang dimaksud adalah untuk membuat saya lebih banyak tahu (pengetahuan), membuat saya lebih cepat karena telah telah terlatih, ataupun melatih saya untuk sebuah keahlian/skill yang menjadi nilai lebih individu.

Bekerja lebih juga berarti tidak cukup puas dengan apa yang dihasilkan bahkan muncul kesombongan bahwa semua karena saya, karena saya sudah melakukan ini dan itu, saya sudah pulang larut malam, saya sudah tunjukkan kepada dunia bahwa saya pekerja yang ulet dengan postingan di social media. Lebih lucu lagi jika kita merasa hebat sendiri dan kantor bisa tutup kalau tidak ada saya, saya yang paling ini dan itu. Terkadang perlu dibayangkan jika saya digantikan oleh anak baru lulus SMA atau lulus kuliah, apakah mereka memiliki output yang sama kalau didik dengan benar. Inilah yang membuat saya malu.

 

Kedua, berhentilah menunjuk orang lain dan berhentilah menjadi orang yang defensif. Seringkali saya ingin terlihat lebih dibandingkan orang lain baik disadari atau tidak disadari. Oleh sebab itu, berdiam sendiri untuk melakukan introspeksi diri diperlukan. Tanpa sadar saya selalu memandang yang lain salah terus dan saya yang paling benar. Dan jika kadarnya sudah lebih tinggi lagi maka sampai-sampai melemparkan kesalahan kepada “seorang korban”, entah itu rekan, bawahan atau bahkan terkadang atasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun