Indonesia besar bukan hanya dalam angka-angka statistik seperti jumlah penduduk atau luas negara atau memiliki pantai terpanjang di dunia dan seterusnya. Tetapi ia juga besar dalam skala dan jumlah permasalahan yang mendasar yang harus dihadapi setiap saat (Sultan Hamengku Buwono dalam Merajut Kembali Keindonesiaan Kita).
Keragaman masalah elementer mengepung dari berbagai sisi. Kebhinekaan yang ika dalam tubuh Indonesia, goyah. Meski demikian ia tidak luruh. Paradoksal berindonesia meluber.
Beriringan dengan ribuan kata sepakat pengukuhan integritas kebangsaan, spirit separatisme perlahan mengintai. Sewaktu-waktu akan letup meluluh lantakkan. Tengok saja wajah Indonesia kini. Negarawan dan preman sama-sama mencari panggung.
Dalam situasi demikian, komitmen meredefinisi Pancasila sebagai kiblat kebangsaan perlu segera diakuisisi. Kompleksitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia perlu dianalisis dalam sudut pandang falsafah sebagai pedoman dasar.
Pancasila sebagai perspektif dan landasan berindonesia mesti segera dipublikasikan kembali. Demi menjadi sebuah fakta yang menjamin. Sebagai sebuah ideologi terbuka yang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru, Pancasila perlu disegarkan untuk menjadi a living ideology dalam menjawab tantangan masa depan.
Artinya, Pancasila perlu selalu diafirmasi sebagai filosofi bangsa yang "dibumikan" bukan dipajang di sudut ruangan dalam bentuk pigura, sembari tak lupa memberi penafsiran kritis seturut konteks zaman.
Sebagai falsafah yang hidup dan untuk hidup bernegara tentu lahirnya Pancasila turut memberi arti signifikan sivilisasi Indonesia. Pancasila lahir karena kuatnya harapan akan kebersatuan dalam tubuh bernama Indonesia. Ada rasa kemanunggalan yang kuat meskipun hidup dalam realitas kebhinekaan. Alasan inilah membuat Pancasila tidak menjadi sekadar rumusan untuk dihafal melainkan wajib dijiwai.
Butir-butir yang terkandung di dalamnya merupakan asa menumbuhkan gairah ber-Indonesia yang harmonis, selaras dan seimbang. Membumikan kembali Pancasila ke ruang publik merupakan langkah tepat untuk menyadarkan hasrat berindonesia di tengah polemik bangsa yang kian akut lantaran aneka kepentingan pribadi dan kelompok.
Panca-sila tidak hanya dipromosikan ulang tetapi lebih daripada itu, dikukuhkan ke tempat sentral sebagai pusat nilai dan sumber acuan untuk berperilaku. Pancasila harus tetap menjadi kiblat dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Bertahannya Pancasila di tengah kontroversi perubahan sosial, perubahan konstitusi dalam tubuh Indonesia, beragam ancaman pada persatuan dan kesatuan bangsa sejak zaman para founding fathers mengafirmasi bahwa Pancasila merupakan alternatif tepat dalam mempertahankan keindonesian.
Hingga titik ini. Namun di samping itu, penjelasan secara holistis-koheren terhadap kelima sila yang termaktub di dalamnya adalah mendesak. Ini dimaksudkan agar setiap insan bangsa paham definisi pengukuhan bernegara yang telah digerakkan oleh kelima sila tersebut.
Upaya memperkukuh kesatuan Indonesia telah memperoleh landasan spiritual, moral dan etika yang bersumber pada kepercayaan kepada ketuhanan yang Mahaesa.
Selaras dengan paham kebangsaan, pentingnya menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh bangsa lain, golongan dan sesama -bahkan penguasa terhadap rakyatnya- maka dalam konteks ini, kita diajak untuk merasakan bahwa pluralitas agama itu indah.
Tidak semestinya, setiap agama atau mazhab tertentu merasa lebih hebat atau akan diselamatkan ketimbang agama atau mazhab lainnya. Penulis mengamini ungkapan Komaruddin Hidayat melalui bukunya Agama Punya Seribu Nyawa bahwa setiap etnik dan agama harus bersama-sama menyumbangkan yang terbaik untuk membangun peradaban di muka bumi melalui dialog dan public reasoning dengan mengedepankan civic values.
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan sila pertama Pancasila, dimaksudkan untuk mempertegas ingatan kolektif masyarakat Indonesia bahwa hanya Tuhan Yang Esa itu yang dimuliakan.
Benturan akibat perdebatan berbagai nama dan cara pendekatan pada Tuhan mestinya diminimalisir. Terutama harus menyebabkan fatalisme. Maka untuk memaknai lebih dalam sila pertama, diperlukan sikap keterbukaan beragama sebagai ungkapan religiusitas sejati.
Keterbukaan dalam arti, menghargai setiap orang sesuai dengan 'keunikan' tanpa represif fisik maupun non-fisik dalam hal apapun. Kebijakan di SMKN 2 Padang misalnya adalah contoh pembelajaran bagi kita semua.
Sila kedua, kemanusian yang adil dan beradab, mengajak insan bangsa untuk menghormati harkat dan martabat dan menjamin hak-hak manusia. Ini hanya mungkin sungguh-sungguh dihayati dan dilakukan ketika manusia Indonesia mampu menghidupi sila pertama.
Mengapa? Sebagai sila yang memberi landasan spiritual, sila pertama memampukan manusia-manusia Indonesia melihat bahwa “kita” semua adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan seturut gambar dan rupa-Nya.
Kata lain, keadilan antara sesama manusia Indonesia akan terwujud dalam penghayatan yang realistis dalam bingkai imago Dei. Pancasila adalah jati diri bangsa, lahir sebagai konstruksi psikologis, sosiologis, politis, ideologis dan filosofis bahkan teologis yang dikaji secara mendalam dan penuh pertimbangan oleh para founding fathers.
Jati diri ini terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Maka konstruksi ini mesti pula berdiri kokoh menopang gerak laku setiap individu dan kelompok.
Maka sebagai bangsa majemuk, dengan semangat persatuan dan kesatuan yang bersumber dari Pancasila, warga bangsa harus dengan tegas menentang praktek-praktek yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial.
Praksis nyata sila ke-empat yang terlihat dalam sistem kerakyatan Indonesia adalah semangat demokrasi. Menjadi sebuah kebanggaan bahwa dalam ber-Indonesia, masyarakat demokratis telah memberi warna di berbagai bidang kehidupan.
Dunia perpolitikan memberi contoh paling khas meskipun perbedaan pendapat dalam diskusi ruang publik selalu ada. Namun menimbang kembali bentuk keanekaragaman lainnya (suku, agama, ras, karakter) kapasitas dan sikap demokratis mesti selalu dipupuk.
Karena itulah, mengapa kebijaksanaan dalam permusyawaratan diperlukan. Agar setiap perbedaan itu bisa dibicarakan dalam nuansa persaudaraan. Contoh nyata, perbedaan dan pertentangan ide-ide para founding fathers justru mengantar mereka pada sikap terbuka dan sepakat untuk menerima keputusan final. Sikap demokrasi itulah kemudian mengantar mereka pada gagasan Indonesia merdeka.
Jika empat sila di atas dihayati dan dihidupi, maka bukan hanya dalam konteks kini berindonesia, bangsa ini bisa adil, tetapi di tahun-tahun yang akan datang keadilan dan kesejahteraan tetap terjaga. Artinya, keadilan itu tidak akan diperjuangkan dengan ancaman dan paksaan melainkan diperjuangkan seturut cita-cita dan hak manusia sebagai citra Tuhan.
Singkat kata, lembaga pendidikan mengambil peran penting untuk semua hal di atas terutama di tengah polemik kebangsaan yang sensitif, hari-hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H