Upaya memperkukuh kesatuan Indonesia telah memperoleh landasan spiritual, moral dan etika yang bersumber pada kepercayaan kepada ketuhanan yang Mahaesa.
Selaras dengan paham kebangsaan, pentingnya menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh bangsa lain, golongan dan sesama -bahkan penguasa terhadap rakyatnya- maka dalam konteks ini, kita diajak untuk merasakan bahwa pluralitas agama itu indah.
Tidak semestinya, setiap agama atau mazhab tertentu merasa lebih hebat atau akan diselamatkan ketimbang agama atau mazhab lainnya. Penulis mengamini ungkapan Komaruddin Hidayat melalui bukunya Agama Punya Seribu Nyawa bahwa setiap etnik dan agama harus bersama-sama menyumbangkan yang terbaik untuk membangun peradaban di muka bumi melalui dialog dan public reasoning dengan mengedepankan civic values.
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan sila pertama Pancasila, dimaksudkan untuk mempertegas ingatan kolektif masyarakat Indonesia bahwa hanya Tuhan Yang Esa itu yang dimuliakan.
Benturan akibat perdebatan berbagai nama dan cara pendekatan pada Tuhan mestinya diminimalisir. Terutama harus menyebabkan fatalisme. Maka untuk memaknai lebih dalam sila pertama, diperlukan sikap keterbukaan beragama sebagai ungkapan religiusitas sejati.
Keterbukaan dalam arti, menghargai setiap orang sesuai dengan 'keunikan' tanpa represif fisik maupun non-fisik dalam hal apapun. Kebijakan di SMKN 2 Padang misalnya adalah contoh pembelajaran bagi kita semua.
Sila kedua, kemanusian yang adil dan beradab, mengajak insan bangsa untuk menghormati harkat dan martabat dan menjamin hak-hak manusia. Ini hanya mungkin sungguh-sungguh dihayati dan dilakukan ketika manusia Indonesia mampu menghidupi sila pertama.
Mengapa? Sebagai sila yang memberi landasan spiritual, sila pertama memampukan manusia-manusia Indonesia melihat bahwa “kita” semua adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan seturut gambar dan rupa-Nya.
Kata lain, keadilan antara sesama manusia Indonesia akan terwujud dalam penghayatan yang realistis dalam bingkai imago Dei. Pancasila adalah jati diri bangsa, lahir sebagai konstruksi psikologis, sosiologis, politis, ideologis dan filosofis bahkan teologis yang dikaji secara mendalam dan penuh pertimbangan oleh para founding fathers.
Jati diri ini terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Maka konstruksi ini mesti pula berdiri kokoh menopang gerak laku setiap individu dan kelompok.
Maka sebagai bangsa majemuk, dengan semangat persatuan dan kesatuan yang bersumber dari Pancasila, warga bangsa harus dengan tegas menentang praktek-praktek yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial.