Pada tempat pertama sudah sepantasnya memberikan apresiasi setinggi-tingginya dari hati yang tulus untuk dedikasi para guru yang telah memberikan seluruh dirinya untuk masa depan bangsa melalui pendidikan kepada para peserta didik di seantero negeri ini.
Apresiasi ini merupakan dukungan moril atas segala hal yang telah mereka berikan untuk memanusiakan manusia Indonesia walaupun dalam kondisi yang tidak memungkinkan. Situasi yang tidak memungkinkan tersebut menyangkut kesejahteraan yang memprihatinkan, karena mereka harus memenuhi kebutuhan hidup dalam kondisi yang amat terbatas dengan gaji yang tidak seberapa jumlahnya.
Walaupun demikian mereka tetap fokus lewat pemberian diri yang total dan tulus, karena bagaimanapun sejatinya mereka harus berpenampilan menarik di hadapan peserta didik, dan bersamaan dengan itu pula harus memenuhi kebutuhan rumah tangga yakni kebutuhan suami/istri dan anak-anaknya di rumah.
Tetapi pada kenyataannya tuntutan kebutuhan pribadi menjadi sekunder demi pemenuhan kebutuhan primer yakni mendidik generasi Indonesia yang cerdas dan beraklak mulia. Sekali lagi kepada mereka sejuta apresiasi yang tulus harus diberikan karena dedikasi tanpa pamrih yang sudah mereka berikan untuk mencerdaskan anak bangsa.
Namun demikian kita tidak dapat menutup mata dan telinga terhadap realitas yang berseberangan dengan itu. Realitas yang dimaksud adalah pengabdian setengah hati dari para guru dalam mendidik para anak bangsa.
Hal ini dapat terjadi semata-mata karena harus memenuhi kebutuhan pribadi, suami/istri, dan anak-anak di rumah.
Saya tidak memberikan catatan kepada para pendidik yang sudah sejahtera karena diperhatikan pemerintah, karena ini menyangkut hal lain.
Tetapi yang menjadi catatan terutama adalah para pendidik yang berstatus honorer dan pendidik di sekolah-sekolah swasta. Catatan ini menjadi penting karena kondisi mereka yang serba memprihatinkan dalam mana kesejahteraan mereka bergantung semata-mata pada kemampuan sekolah dan yayasan.
Tak sedikit dari mereka adalah para pendidik yang setia mengabdi untuk peserta didik. Mereka bahkan mengorbankan kepentingan dan kebutuhan suami/istri dan anak-anak untuk mendidik anak bangsa. Dan bersamaan dengan itu harus mencari waktu luang di luar waktu efektif sekolah untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan pekerjaan apa saja yang dianggap wajar dan halal.
Namun demikian, juga harus terbuka pada kenyataan bahwa tidak sedikit dari mereka yang mengabaikan kewajiban dan tanggungjawabnya di sekolah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka harus meninggalkan jam efektif di sekolah karena tuntutan kebutuhan rumah tangga.
Kenyataan ini berarti harus mengorbankan peserta didik di sekolah karena tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan. Dan bila ini terjadi sekali atau dua kali berarti dapat dimaklumi, tetapi jika terjadi berkali-kali berarti menjadi perhatian yang teramat serius untuk ditindaklanjuti, mengingat korbannya adalah generasi masa depan bangsa.