Tahun 2020 merupakan tahun terakhir pelaksanaan ujian nasional (UN). UN pada tahun 2021 Â diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen tersebut tidak dilakukan berdasarkan mata pelajaran atau penguasaan materi kurikulum seperti yang diterapkan dalam ujian nasional, melainkan melakukan pemetaan terhadap dua kompetensi minimum siswa, yakni literasi dan numerasi.
Pemetaan kompetensi literasi berkaitan dengan kemampuan membaca, menganalisis  bacaan, dan memahami konsep di balik bacaan, sedangkan kompetensi numerasi mengukur kemampuan menganalisis dengan menggunakan angka.
Sedangkan survei karakter dilakukan untuk mengetahui data secara nasional mengenai penerapan asas-asas Pancasila oleh siswa Indonesia. Survei karakter dijadikan tolok ukur untuk memberikan umpan balik atau feedback ke sekolah-sekolah agar dapat menciptakan lingkungan sekolah yang membuat siswa lebih bahagia dan lebih kuat dalam memahami dan menerapkan asas-asas  Pancasila.
Penggantian UN menjadi Asesmen Nasional (AN) menandakan perubahan mendasar dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Perubahan ini mempengaruhi jutaan murid dan guru di seluruh Indonesia.
AN murni merupakan evaluasi atas mutu sistem pendidikan. AN bukan evaluasi atas prestasi murid sebagai individu, dan hasil AN tidak memiliki konsekuensi sedikit pun pada murid yang menjadi pesertanya.
Karakteristik ini berbeda dari UN. UN adalah evaluasi yang mencampuradukkan evaluasi terhadap murid dan evaluasi terhadap sistem pendidikan.
Di satu sisi UN digunakan untuk mengevaluasi penguasaan tiap murid terhadap materi kurikulum yang juga digunakan sebagai penentu kelulusan (sampai 2015) dan seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Di sisi lain, UN digunakan sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan serta mengevaluasi kinerja sekolah dan pemerintah daerah, dalam mana Kemendikbud secara rutin mengumumkan skor UN semua sekolah dan memberi penghargaan pada sekolah-sekolah sebagai "juara UN".
Namun demikian patut disadari bahwa sejak digantinya UN menjadi AN rasa-rasanya ada yang hilang dalam sistem pendidikan nasional. "Kehilangan" itu bukan soal adanya ujian atau tidak, tetapi lebih dari itu adalah hilangnya iklim akademis dan budaya kompetisi di lembaga-lembaga pendidikan.
Para guru dan orang tua masih mengakui dengan pasti bahwa ditiadakannya UN telah melahirkan dampak buruk karena melemahkan daya saing peserta didik, juga rendahnya kinerja dan keseriusan guru dalam mengajar. Ini sangat beralasan karena tidak ada sesuatu yang hendak dikejar, karena toh pada akhirnya semua akan naik kelas dan lulus.
Dampak buruk lain dari ditiadakannya UN adalah makin maraknya perilaku buruk para peserta didik. Mereka tidak serius untuk belajar baik di sekolah maupun di rumah. Waktu-waktu mereka lebih banyak digunakan untuk bermain game online dan bersosial media, yang pada prinsipnya justru membunuh mentalitas kerja keras.
Patut disayangkan jika pelaksanaan UN yang katanya melahirkan stres baik bagi orang tua, pendidik, dan peserta didik, justru akhirnya melahirkan mentalitas buruk dari generasi masa depan bangsa yaitu hilangnya budaya disiplin, kerja keras, dan kompetisi.
Disadari bahwa lingkungan belajar yang sehat adalah lingkungan yang penuh kerja sama, gotong royong, dan bukan kompetisi, tetapi pada kenyataannya dalam kompetisi biasanya ada kerja sama dan gotong royong.
Ini terbukti ketika mempersiapkan UN, semua peserta didik akan belajar bersama-sama di mana yang lebih tahu akan membantu yang kurang tahu dalam belajar, dan bersamaan dengan itu juga para pendidik akan mengeluarkan segala potensinya agar para peserta didik dapat berhasil dalam UN.
Inilah dimensi yang hilang dari ditiadakannya UN. Tetapi menurut hemat saya lebih baik ada UN untuk melahirkan budaya disiplin, kerja sama, dan kompetisi, dari pada tanpa UN yang akan membunuh mentalitas pejuang dan petarung para peserta didik.
Lebih ekstrem lagi hendak dikatakan bahwa lebih baik mereka stres yang dengannya mereka dilatih untuk mengatasi stres melalui hal-hal yang berguna dan positif, dari pada melatih mereka untuk bersantai ria yang pada akhirnya membunuh semangat dan daya juang.
Pada sisi lain, dengan ditiadakannya UN telah merenggangkan tanggung jawab pendidikan anak dari pihak orang tua. Mereka tidak lagi memperhatikan dengan serius proses belajar anak di rumah. Atau proses pendidikan dianggap menjadi tidak penting karena tidak berdampak bagi perkembangan kemampuan dan masa depan anak, sehingga tanggung jawab tersebut dilimpahkan sepenuhnya ke sekolah dan pendidik.
Maka, menurut hemat saya UN perlu dikembalikan sebagai salah satu acuan untuk menilai ketuntasan pendidikan peserta didik dan lembaga pendidikan, tetapi tidak dapat menjadi satu-satunya acuannya dengan mengabaikan keseluruhan proses pendidikan.
Bersamaan dengan itu pula bentuk UN dapat dipadukan dengan AN untuk mengukur kompetensi literasi, numerasi, dan karakter peserta didik untuk mengukur kemajuan pendidikan secara nasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI