Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terlihat Keren di Media Sosial

9 Oktober 2024   19:27 Diperbarui: 9 Oktober 2024   22:36 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak dapat dipungkiri bahwa kita sedang hidup dalam maraknya arus perkembangan media sosial dengan berbagai platformnya seperti Twitter, Facebook, Instagram, WhatsApp, Tik Tok,You Tube, LinkedIn, dan lain-lain. Berhadapan dengan kenyataan ini membuat kebanyakan orang mau selalu terlihat eksis untuk menunjukan eksistensinya.

Ini tidak salah, mengingat semua menjadi sarana untuk pengaktualisasian diri. Sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri tepat kalau orang berlomba-lomba untuk memposting beragam aktivitas pribadi maupun bersama orang lain.

Sekali lagi ini tidak ada salahnya. Tetapi menjadi salah manakala supaya terlihat eksis dan trendy kemudian membuat seseorang memaksakan diri dan mengkondisikan diri dan situasi menjadi seolah-seolah demikianlah kenyataannya, tetapi yang sesungguhnya justru berbanding terbalik dengan kenyataan faktual.

Kondisi memaksakan diri supaya terlihat trendy dan berada membuat seseorang tidak menampilkan diri apa adanya. Ini kemudian membuat seseorang membeli barang untuk menjawab kebutuhan konten, memaksakan diri untuk traveling padahal tidak membutuhkannya, atau jalan-jalan hanya untuk terlihat happy dan keren di media sosial.

Kalau pada kenyataannya memang demikian yang sesungguhnya karena memang berada, kiranya tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah hanya untuk menjawab tuntutan eksis di media sosial kemudian membuat seseorang terlibat pinjaman online atau membeli untuk membayarnya kemudian alias paylater.

Ini berarti memberatkan diri untuk hal yang sebenarnya tidak perlu atau bukan merupakan kebutuhan. Dan bersamaan dengan itu berarti mengada-mengada atau menciptakan suatu kondisi yang sebenarnya tidak nyata alias kehidupan yang palsu.

Kenyataan ini sejatinya mengajarkan kita bahwa hidup kita bukan untuk menyenangkan atau membahagiakan orang lain di media sosial. Hidup kita yang sesungguhnya adalah untuk membahagiakan diri, selebihnya orang lain akan menjadi bahagia kalau diri kita sudah bahagia.

Lebih dari itu, hidup yang sesungguhnya adalah hidup dalam kondisi yang real, sesuai dengan kenyataan diri masing-masing. Hidup tidak perlu memaksakan diri agar terlihat trendy dan eksis, tetapi hidup sesuai dengan kemampuan diri masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun