Seorang ayah yang cenderung menunjukkan otoritas secara tidak wajar atau otoriter, pada akhirnya akan gagal dalam menjalin relasi yang sehat dengan anak. Seorang ayah sejatinya menyadari bahwa otoritasnya adalah untuk melayani anak. Otoritas seorang ayah melekat dalam kondisi selalu ada dan siap melayani anaknya.
Ini artinya bahwa otoritas seorang ayah bukan untuk mencari aman supaya tidak diganggu atau agar ditakuti anak, tetapi sebaliknya harus berdasarkan cinta kepada anak. Otoritas yang benar bukan pada cinta diri supaya disegani dan mencari rasa aman (ditakuti), tetapi lebih dari itu adalah dedikasi tanpa henti bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pada kenyataannya, perwujudan otoritatif seorang ayah akan tampak melalui pemberian hukuman kepada anak jika melakukan kesalahan. Ini salah. Harus dipahami bahwa hukuman bisa diberikan sejauh itu dianggap perlu saja, tetapi bukan menjadi solusi untuk semua kekeliruan dan kesalahan yang diperbuat anak.
Hukuman kadang-kadang menjadi penting sekedar untuk menyadarkan anak bahwa memang layak dihukum karena suatu kesalahan yang dibuat, tetapi bukan untuk semua hal yang telah diperbuatnya.
Pada kondisi ini, "untuk menyadarkan", pastinya akan diterima karena merupakan pernyataan cinta, karena bukan perwujudan kebencian dan balas dendan ayah kepada anak.
Dengan demikian, teramat penting kiranya menjalin relasi persahabatan antara ayah dan anak. Relasi persahabatan ayah - anak tidak akan menghilangkan wibawa seorang ayah di hadapan anak.
Dasar relasi persahabatan ayah - anak adalah cinta dan saling percaya. Ayah mencintai anak, anak mencintai ayah. Ayah percaya kepada anak, anak percaya kepada ayah. Dalam pola relasi ini akan terwujud relasi intim antara keduanya, sehingga menjamin sebuah relasi yang saling menjaga, serta saling menyuburkan dan menumbuhkan satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H