Sama seperti kesombongan dan keserakahan yang merupakan awal dari sebuah kehancuran demikian halnya dengan iri hati/dengki. Ketiganya merupakan bagian dari tujuh dosa pokok dalam ajaran moral Gereja Katolik, yang disebut juga dengan Seven Deadly Sins (Tujuh Dosa Mematikan).
Iri hati bertalian erat dengan hasrat atau keinginan yang tidak terpuaskan. Iri hati juga berhubungan dengan hasrat atau keinginan yang sifatnya menyimpang terhadap hak milik, keberhasilan, atau pun prestasi orang lain, bandingkan dengan Sepuluh Perintah Allah yang berbunyi, "menginginkan hak milik sesama secara tidak adil".
Thomas Aquinas mengistilahkannya sebagai perasaan sedih (sadness) dan duka (sorrow) atas kesuksesan atau keberhasilan orang lain, karena dia menganggap bahwa seharusnya dirinya yang lebih pantas mendapatkannya, tetapi pada kenyataannya justru orang lain yang mendapatkannya.
Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyebut jenis dosa ini dengan nama 'dengki' (KGK 1866), tetapi juga dengan istilah 'iri hati' (KGK 2538-2539). Sebenarnya antara iri hati dan dengki memiliki perbedaan yang cukup mendasar yang umumnya tidak disadari kebanyakan orang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), iri hati berhubungan dengan perasaan kurang senang ketika melihat kelebihan orang lain. Perasaan ini dapat berupa rasa cemburu, sirik, dan dengki. Sementara kata dengki  berarti menaruh perasaan marah, perasaan benci dan rasa tidak suka/rasa iri hati yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.
Iri hati dan dengki mendeskripsikan perasaan negatif yang timbul dari dalam hati manusia. Keduanya merujuk pada kesuksesan, prestasi, atau keberhasilan orang lain. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa rasa dengki mengandung iri hati yang lebih mendalam karena mengarah kepada kebencian, ketidaksenangan yang teramat sangat, bahkan paling ekstrimnya adalah berusaha untuk menggagalkan kesuksesan tersebut, merebutnya atau pun merusaknya. Bandingkan contoh klasik melalui peristiwa Kain dan Habel.
Lebih lanjut Agustinus menjelaskan bahwa iri hati termasuk dosa setani (diabolic sin) , dan Santo Gregorius Agung menguraikan bahwa dari hati yang iri akan lahir kedengkian, fitnah, hujat, kegirangan akan kesengsaraan sesama, dan menyesalkan keberuntungan orang itu.
Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2540, orang Katolik seharusnya menolak atau memerangi dosa jenis ini karena bertentangan dengan hukum cinta kasih. Orang Katolik harus membangun dalam dirinya keutamaan 'kasih persaudaraan' (brotherly love) atau 'kebaikan hati' (good will). Kita diingatkan bahwa seringkali rasa iri hati itu lahir dari kesombongan, karena itu baik kalau kita senantiasa hidup dalam semangat rendah hati.
Lebih lanjut KGK 2540 mengutip salah satu homili St. Yohanes Krisostomus, "Apakah kamu ingin melihat Tuhan dihormati melalui kamu? Baik, kalau begitu, kamu harus bergembira dengan kemajuan saudaramu, Â dan dengan demikian, Tuhan sudah dimuliakan. Terpujilah Allah, demikianlah orang akan mengatakan, karena pelayannya tahu memerangi iri hati dengan bergembira atas jasa-jasa orang lain".
Pada akhirnya sebagai orang beriman, semua perilaku harus mencerminkan kehadiran Allah, yakni menjadi orang yang senantiasa memuji dan memuliakan Tuhan ketika ada sesama yang sukses dalam hidupnya. Sebaliknya akan ikut bersedih dan berusaha membantu sesama yang dirundung kemalangan. Ini merupakan makna dari keutamaan "cinta kasih persaudaraan" (brotherly love). Sebaliknya pada tataran psikologis (manusiawi), kita sebaiknya menemukan dan mengembangkan kualitas-kualitas positif diri dari pada fokus pada perasaan negatif  (benci dan dengki) pada kesuksesan dan prestasi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H