3. 1 Masalah Politik - Religius bagi Pengalaman Hidup Iman Trinitarian
Dalam ranah politik, otoritarianisme politik merupakan realitas konkret dalam sejarah guna pemusatan kekuasaan. Pemerintahan sipil dengan monarkismenya telah menciptakan monopoli kekuasaan. Ideologi diciptakan oleh fenomena politik dengan satu Tuhan, satu raja, dan satu hukum. Ini pada kenyataannya mempengaruhi Gereja, di mana kita mengenal ungkapan: satu Tuhan, satu Gereja yang merepresentasikan Kristus; untuk seluruh dunia ada paus, di keuskupan ada uskup, dan di komunitas lokal ada pastor. Dengan demikian, organisasi koeksistensi sosial yang berdasar pada pemusatan kekuasaan tidak menunjukkan pengalaman akan Tuhan sebagai persekutuan. [12]
Dalam ranah religius, kita menyaksikan fenomena seperti dalam ranah politik di atas di mana ada pemusatan kekuasaan suci melalui gambaran Imam Agung atau Pontifex Maximus. Konsep hierarki dalam Gereja Katolik Roma telah menghasilkan ide unitarian. Dogma boleh saja mengajarkan bahwa Allah yang benar adalah persekutuan dari tiga pribadi ilahi, namun kesatuan antara Tiga Pribadi Ilahi seharusnya kesatuan esensi Tuhan yakni hidup, cinta, dan persekutuan. Gagasan unitarian dirasa telah menghancurkan pengalaman misteri Trinitarian. Pribadi ilahi disembah sebagai Allah yang terpisah dari Pribadi yang lain.[13]
Gagasan tentang Bapa berdasar pada mentalitas kebudayaan agraris. Dalam masyarakat patriarkat, Tuhan dihadirkan pertama-tama sebagai yang mahakuasa, Bapa yang mengetahui segala sesuatu, yang mengadili hidup dan mati. Di sana tidak ada tempat bagi Putra. Putra dan Roh Kudus dihormati sebagai yang bergantung pada Bapa (subordinasionisme).[14]
Putra ada dalam relasi horizontal yang menonjol. Dia dihadirkan sebagai Pemimpin, Aktivis yang mempunyai komitmen, Figur Karismatik, dan Penggerak masa. Dalam konteks ini figur Kristus dihormati sebagai Guru, Saudara, Kepala dan Pemimpin kita. Kristosentrisme ini menjadi Kristomonisme, dalam mana Kristus dilihat bukan diutus oleh Bapa atau Kristus yang tidak mempunyai Roh Kudus.[15]
Dan akhirnya Roh Kudus dibangun secara khusus di antara kelompok karismatik, dalam lingkup pergaulan umum atau di antara kelompok elit sosial. Ini menjadi tanda antusiasme dan kreativitas spiritual. Dalam pengalaman ini, berlaku interioritas yang merugikan dan mengabaikan dimensi sejarah karena memiskinkan pembebasan integral. Dalam keseluruhan dipahami bahwa Bapa tidak pernah bersama Putra dalam Roh Kudus. Seharusnya menurut Boff, Putra ada dalam Bapa oleh Roh Kudus. Roh Kudus menghubungkan Bapa kepada Putra dan dalam Roh Kudus keduanya dipersatukan.[16]
3. 2 Misteri Trinitas dalam Perspektif Amerika Latin
Teologi lahir dari realitas hidup umat beriman. Karena teologi lahir dari realitas tersebut, teologi seharusnya memberikan warta gembira bagi manusia dalam situasi di mana mereka hidup. Di Amerika Latin, tantangan penting datang dari orang-orang miskin. Pertanyaan mendasar adalah apakah artinya iman Trinitas bagi orang miskin? Hal ini melampaui kebenaran dogmatis, karena merupakan aktualisasi eksistensial dari misteri persekutuan, supaya orang-orang secara konkret terbantu untuk hidup dalam kemanusiaan mereka secara penuh dan bebas.[17]
Bagi iman Kristen, terdapat dua garis refleksi di dalamnya. Pertama dimulai dengan iman Trinitarian dan merencanakan pengertian yang bergerak kepada iman personal dan hidup sosial. Kedua dimulai dengan realitas personal dan sosial dan bertanya untuk apa menyampaikan kenyataan ini kepada gambaran dan kesamaan dengan Trinitas; untuk apa menyampaikan pertentangan dalam realitas masyarakat, dengan sebuah persekutuan di antara perbedaan; dan akhirnya apakah realitas konkret mengizinkan sebuah pengalaman misteri Trinitarian. Orang percaya bahwa Tiga Pribadi Ilahi adalah sederajat dalam relasi persekutuan hidup dan cinta. Dalam realitas Amerika Latin, begitu besar perubahan individu dan realitas sosial. Realitas ini dibutuhkan untuk menghadirkan sakramen Trinitas suci. Di sini akar Trinitarian dari iman Kristen mentransformasi masyarakat. Usaha merubah masyarakat penting sebab realitas iman Trinitarian merupakan prototipe dari segala yang ada, dan bahwa realitas tertinggi ini merupakan persekutuan absolut dari Tiga Realitas yang berbeda, yang memiliki kesamaan martabat, dengan cinta dan komunikasi timbal-balik. Lebih lanjut, kita menginginkan masyarakat kita, realitas yang kita lihat, dapat berbicara kepada kita dari Trinitas egalitarian kepada organisasi komunitarian, dengan memberikan sebuah pengalaman tentang Tiga Pribadi Ilahi.[18]
Â
3. 3 Data Normatif Iman Trinitarian