politik kali ini (2019) Â akan mencapai tahap-tahap akhir dalam waktu yang relatif amat singkat. Proses panjang dalam mengisi pesta demokrasi telah pula merekam beragam hal penting yang akan tercatat dalam sejarah perpolitikan nasional. Sejarah politik akan mencatat beberapa hal baru, baik menyangkut regulasi praktek politik nasional maupun menyangkut proses dalam mengisi pesta demokrasi yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Gema gong Pemilu pada tahun
Praksis politik pada tahun politik kali ini berbeda dengan momen tahun politik sebelumnya. Perbedaan tersebut menyangkut cara dan proses pemilihan. Ada beberapa fakta penting berkaitan dengan pelaksanaan pemilu serentak ini. Beberapa fakta tersebut antara lain pertama kali Pilpres dan Pileg serentak, biaya penyelenggaraan yang mencapai 24,8 triliun rupiah, terdiri dari 16 partai yang mencakup 4 partai baru dan 12 partai lama, pemilihan 1 presiden, 575 anggota DPR, 19.817 anggota DPRD, dan 187,7 juta pemilih.
Tak hanya itu saja, fakta lainnya adalah ada lima kertas suara dalam lima warna (abu-abu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, kuning untuk memilih anggota DPR RI, merah untuk memilih anggota DPD RI, biru untuk memilih anggota DPRD propinsi, dan hijau untuk memilih anggota DPRD kota/kabupaten), dan di antara para calon terdapat 38 mantan terpidana kasus korupsi.
Bersamaan dengan fakta-fakta baru tersebut, praksis mengisi tahun politik kali ini telah melahirkan pula beberapa praktek politik yang berseberangan dengan prinsip dasar demokrasi. Yang terjadi dalam proses demokrasi kali ini adalah praksis memperoleh kekuasaan dengan jalan mengedepankan politik identitas dan mengesampingkan kebenaran. Ini tentunya akan sangat berbahaya karena kekuasaan yang diperoleh dengan jalan mengedepankan politik identitas dan mengorbankan kebenaran akan melahirkan aktor penguasa yang manipulatif.
Praksis Politik
Pelaksanaan Pemilu serentak ini telah mengindikasikan beberapa praksis politik yang tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi sebagaimana mestinya. Ada dua praksis politik sebagai sebuah gerakan black power (kekuatan hitam) yang sangat membahayakan eksistensi politik dan demokrasi negara ini. Dua kekuatan hitam tersebut adalah manipulasi agama demi kepentingan politik dan penyebaran berita bohong untuk memperoleh kekuasaan.
Pertama, manipulasi agama. Sebuah kebenaran yang patut disebutkan bahwa agama berpengaruh sangat besar dalam perkembangan sejarah bangsa, termasuk dalam sejarah politik dan demokrasi bangsa. Agama adalah kekuatan politik yang sangat menyakinkan, sehingga telah melahirkan partai-partai politik yang bernafaskan agama dari waktu ke waktu dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda.
Tanpa bermaksud meniadakan agama-agama non-Islam, agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk negara Indonesia telah mengembangakan dua warna pergerakan politiknya. Warna pertama adalah Islam konservatif yang berupaya memanfaatkan agama untuk memperoleh kekuatan politik agar terbentuknya negara Indonesia yang bernafaskan ajaran Islam, dan warna kedua adalah Islam moderat yang menggandeng agama sebagai sebuah gerakan politik untuk semata-mata memperoleh kekuasaan agar terciptanya NKRI tanpa harus mendirikan negara agama.
Representasi agama melalui konfigurasi kekuataan agama Islam sebagai agama mayoritas menjadi senjata andalan dalam praksis politik. Sebuah fakta sejarah yang masih sangat segar dalam ingatan adalah Pilgub DKI Jakarta. Namun kita patut menyadari bahwa penggiringan opini publik pada dimensi agama adalah sebuah upaya yang mengabaikan sensivitas pluralitas kebangsaan, karena negara ini adalah rumah untuk berbagai macam agama dan aliran kepercayaan.
Sejarah telah membuktikan bahwa para founding father/mother negara ini lebih berpikiran nasionalis sehingga kepentingan yang utama adalah NKRI, dengan mempertimbangkan bahwa NKRI adalah rumah bagi berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Di sini hidup dan berkembang juga agama-agama lain selain Islam. Mereka telah hidup bersama sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Dan, pemikiran pluralistik ini telah melanggengkan NKRI sampai saat ini.
Namun demikian, upaya memanfaatkan agama untuk kepentingan kekuasaan ternyata masih menggema. Gerakan memanfaatkan status agama mayoritas dengan memanfaatkan massa dan isu-isu agama telah mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu. Gerakan ini ternyata sangat berhasil untuk mendulang suara sehingga praksis politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Politik identitas mengemuka sehingga mengebiri rasionalitas dan hati nurani rakyat selaku pemilik demokrasi.