Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Memerdekakan Sepak Bola

2 Juni 2024   18:28 Diperbarui: 2 Juni 2024   18:39 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhelatan akbar pertandingan sepak bola yang diberi nama El Tari Memorial Cup (2017) di bumi FLOBAMORA telah usai. Momen ini disambut ria oleh hampir seluruh warga NTT yang nota bene adalah pecinta dan penggila sepak bola. Menariknya lagi momen ini memuncak di bulan Agustus, bulan kemerdekaan NKRI tercinta, yang tentunya mengundang sebuah refleksi mendalam bagi mereka yang mencintai NKRI dan persepakbolaan nasional.


Seperti diketahui bersama bahwa partai pamungkas ETMC (2017) mempertemukan PERSE Ende selaku tuan rumah Vs PSN Ngada. Laga yang seharusnya dapat berlangsung damai ternyata dinodai oleh tindakan para pihak kedua tim yang tidak sportif sehingga menodai citra persepakbolaan NTT.


Tak tanggung-tanggung, puncak dari pertandingan ini bukannya euforia kemenangan, tetapi kerusuhan yang berujung pengrusakan stadion dan hilangnya nyawa manusia. Sebagai pecinta sebak bola perasaan miris melingkupi peristiwa tragis ini. Kegilaan penggila sepak bola telah terbukti dalam tindakan yang sama sekali tak dapat ditolerir dari aneka sudut pandang, karena sejarah akan mencatatnya sebagai sebuah momen kelam dalam perhelatan ETMC di bumi FLOBAMORA.


Persoalan ternyata tidak serta merta berhenti dalam stadion Marilonga yang merupakan kebanggaan masyarakat Ende, tetapi masih berlanjut lewat aksi saling maki dan hujat antara kedua suporter. Kata-katanya sungguh di luar nalar bagi mereka yang memiliki akal dan hati nurani. Bahkan sampai saling menghujat bupati kedua kabupaten sebagai pemimpin yang diharapkan seharusnya mampu meredahkan gejolak yang terjadi pada saat itu karena mereka dianggap punya wibawa dan kuasa atas para suporter kedua tim, tetapi pada kenyataannya seolah-olah tidak berbuat apapun.


Lantas berbarengan dengan momen kemerdekan, boleh dikatakan bahwa ternyata secara faktual masih banyak anak bangsa ini yang terbelenggu oleh mentalitas anti fair play dan anti sportifitas. Masyarakat ternyata belum sepenuhnya merdeka karena masih diborgol dan dikekang oleh kepentingan sesaat serta budaya adu jotos, adu mulut, dan sentimen primordialisme.

Sepak Bola: Simbol Pemersatu


Banyak pengamat menyebut bahwa sepak bola merupakan simbol universal yang mampu menyatukan bangsa, agama, ras, serta berbagai sentimen dan ikatan lainnya. Media TV dan media elektronik lainnya senantiasa menyuguhkan setiap momen pertandingan sepak bola yang membawa euforia yang sangat luar biasa. Semua orang yang terlibat di dalamnya tak lagi terikat oleh berbagai latar belakang sosial dan budaya yang dibawanya, tetapi melebur dalam satu simbol pemersatu bersama yakni sepak bola.

Masyarakat yang sebelumnya tersekat-sekat dalam berbagai ikatan primordial menunjukkan dengan antusias kecintaannya terhadap tim kesangan mereka, tetapi bukan kebencian terhadap yang lain. Mereka saling berbaur dan menyerukan sorak kemenangan, tetapi bukan caci maki dan hujat menghujat.


Prinsip fair play dan sportifitas menjadi prinsip dan junjungan semua. Kalah dan menang adalah persoalan biasa. Semuanya sadar pada inti sebuah pertandingan yakni keseriusan, kerja keras, pengorbanan, dan totalitas. Kemenangan akan dipandang sebagi buah dari semuanya, sedangkan kekalahan akan menjadi bahan introspeksi agar lebih lagi mengusahakannya pada kesempatan yang lain.


Di sisi lain sebuah pemahaman telah terbangun bahwa wasit adalah pemimpin dan pengadil tertinggi dalam sebuah pertandingan. Apapun yang terjadi dalam sebuah pertandingan adalah hak prerogatif wasit. Terlepas bahwa wasit sebagai manusia dapat saja keliru dan bahkan salah mengambil keputusan dalam sebuah pertandingan, semuanya dapat menerima dan memaklumi dengan baik.


Persoalan di dalam dan luar lapangan adalah dua hal yang berbeda. Bila pada akhirnya wasit terdapat keliru atau salah dalam memimpin dan mengadili sebuah pertandingan, baik pemain maupun penonton dapat patuh secara sadar, karena selanjutnya masih ada pemimpin dan pengadil lain yang akan mengadili keputusan kontroversial sang wasit.


Pemain tak dapat mengambil keputusan sepihak terhadap hal terntentu yang dianggap merugikan timnya, karena pemain tidak dapat sekaligus berperan sebagai wasit. Demikian halnya merekapun sadar bahwa keahliannya adalah memainkan si kulit bundar, tetapi bukan untuk mengejar dan meninju wasit atau pemain lain. Kesadaran terpatri bahwa arena tinju dan arena sepak bola adalah dua hal yang berbeda.


Demikian berlaku bagi para suporter yang sedang menyaksikan pertandingan. Penonton bukanlah pemain dan bukan pula wasit sebuah pertandingan. Arena pertandingan sebak bola adalah milik para wasit dan para pemain sepak bola, tetapi bukan milik semua orang sehingga dapat dengan mudahnya masuk untuk menyerang wasit atau pemain yang dianggap bersalah.


Ini telah menjadi pemahaman bersama. Pengertian dan pelaksanaannya diharapkan sedemikian agar mewujud dalam sebuah pertandingan sepak bola entah sebagai pemain, wasit, official, maupun suporter. Prinsip ini adalah prinsip universal yang mengikat semua orang. Dalam pemahaman akan konsep ini predikat pencinta sepak bola adalah benar karena mereka mencintai fair play dan sportifitas. Mereka bukan lagi penggila sepak bola yang tindakannya tidak jauh dari mereka yang terganggu mentalnya.


Pencinta sepak bola adalah mereka yang telah bebas/merdeka dari mental dan perilaku gila yang suka main hakim sendiri yang merusak semangat fair play dan sportifitas. Mereka sadar bahwa sebuah permainan adalah permainan yang harus dimainkan tetapi bukan untuk dipermainkan dengan semena-mena entah sebelum maupun sesudah permainan.

Memerdekakan Sepak Bola


Perhelatan akbar ETMC sesungguhnya menunjukkan dengan kasat mata bahwa masyarakat belumlah bebas/merdeka. Sejatinya momen yang menyisahkan polemik dan tragedi kemanusiaan ini mengajak kita berbenah secara cepat dan serius supaya peristiwa serupa tidak berulang di masa mendatang. Cukuplah kiranya generasi mendatang hanya mendengar saja kisah pilu yang pernah terjadi, tetapi tidak untuk mengulanginya lagi.

Bila mau jujur, tragedi persebakbolaan yang telah terjadi pada perhelatan akbar ETMC (2017), adalah puncak dari aneka tragedi persebakbolaan yang telah berulang kali terjadi dalam pertandingan sepak bola di aneka level, entah itu pertandingan antar RT, sekolah, desa/kelurahan, dan kecamatan di berbagai wilayah di propinsi ini. Demikian pula dalam sebuah pertandingan yang benuansa rohani sekalipun seperti pertandingan antar KUB/stasi atau OMK, tragedi memilukan sering pula terjadi.


Tak terpungkiri bahwa pertandingan sepak bola sejak lama telah menjadi bahan polemik berkepanjangan dan tak sedikit pula yang melahirkan tragedi kemanusiaan di masyarakat dalam aneka jenjangnya. Ini mengharuskan sebuah penyadaran secara menyeluruh terhadap masyarakat dalam aneka level supaya polemik dan tragedi kemanusiaan yang telah terjadi berkali-kali tidak terulang lagi di kemudian hari.


Panitia sebuah turnamen seharusnya bekerja secara independen. Mereka harus bebas dari campur tangan siapapun, termasuk campur tangan para pemegang kekuasaan yang sarat muatan politik kepentingan sesaat, yang pada akhirnya lebih mengutamakan piala dengan mengabaikan darah dan nyawa manusia.


Para pemain yang kesehariannya bergelut dengan si kulit bundar sepatutnya menyadari perannya sebagai pemain sepak bola bukan pengadil pertandingan. Pemain sepak bola bukan wasit, bukan pula petinju atau pesilat dalam arena sepak bola. Perannya hanya memainkan bola, tetapi bukan meninju atau menendang lawan ataupun mengadili pemain lain.


Yang teramat penting dalam sebuah pertandingan sepak bola adalah wasit. Sejatinya wasit yang ditunjuk adalah yang memiliki kualifikasi, kredibel, dan independen. Mereka harus mampu memimpin dengan adil, tanpa harus terikat oleh aneka kepentingan. Netralitas sang pengadil dalam sebuah pertandingan sepak bola menjadi kunci agar dapat berlangsungnya sebuah pertandingan dengan baik atau tidak.


Banyak kasus dan tragedi memilukan bermula dari kebutusan kontroversial sang pengadil. Yang sejatinya bahwa wasit harus dapat mengambil keputusan sesuai dengan hal yang sebenarnya terjadi dalam sebuah pertandingan, tetapi bukan pengambil keputusan yang menguntungtungkan satu pihak dengan merugikan pihak lain.
Hal lainnya bahwa peran suporter dalam sebuah pertandingan adalah hal yang teramat penting. Saking pentingnya peran mereka sehingga sering disebut pemain keduabelas. Sejatinya para suporter menyadari dirinya hanya sebagai penonton. Mereka membeli karcis untuk menyaksikan indah dan menawannya sebuah pertandingan sepak bola. Mereka bukanlah pemain apalagi wasit sehingga dapat sesuka hati melakukan apapun yang dimaui, termasuk menjadikan arena sepak bola sebagai arena gladiator.


Pada akhirnya harus pula disadari bahwa pertandingan sepak bola hanya berlangsung 2 x 45 menit ditambah 15 menit untuk water break. Ketidakpuasan terhadap sebuah pertandingan harus dikomentari secara bijak, tanpa harus melebih-lebihkannya sehingga menambah durasi pertandingan di luar arena, yang pada akhirnya akan melahirkan tragedi kemanusiaan lainnya.


Fakta yang terjadi pada momen ETMC (2017) menunjukkan bahwa pertandingan luar arena masih terjadi. Semua orang merasa dirinya benar sehingga merasa berhak untuk mengatakan apapun. Perang kata-kata terus terjadi, baik dalam dunia nyata maupun dunia maya, sehingga mengarahkan individu dan kelompok untuk saling membenci satu dengan yang lainnya.


Bila demikian halnya, energi kita akan tersedot untuk mengurusi hal-hal yang tidak perlu dengan mengabaikan hal yang paling mendasar dalam persepakbolaan yakni pembinaan mental dan skill baik bagi oficial, wasit, pemain, maupun suporter yang adalah masyarakat kebanyakan. Ketika masyarakat kita masih terbelenggu oleh kepentingan sesaat serta budaya adu jotos, adu mulut, dan sentimen primordialisme, berarti mengabaikan intelektualitas, keseriusan, kerja keras, pengorbanan, dan totalitas, yang adalah ciri masyarakat yang telah bebas dari cara pandang kerdil dan picik, baik dalam persepakbolaan maupun dalam banyak hal lainnya.


Patut disadari bahwa perhelatan ETMC (2017) telah usai. Siapapun yang mengangkat tropi, pemenangnya adalah masyarakat NTT. Tragedi kemanusiaan yang telah terjadi adalah juga tragedi kemanusiaan masyarakat NTT. Sejatinya momen ETMC dan kemerdekaan tahun ini dapat memerdekakan diri dan masyarakat kita dari aneka belenggu yang membawa kita pada tragedi kemanusiaan lainnya, termasuk kebodohan dan kemiskinan yang telah lama menjadi bantal guling masyarakat kita. Bravo sepak bola NTT. Bravo NKRI.

Tulisan yang sama dapat dibaca dalam:

1. https://andreasneke.blogspot.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun