Fakta yang tak terbantahkan bahwa politik identitas masih merupakan senjata andalan untuk memenangkan pemilu. Dalam konteks pilgub NTT (2018) politik identitas bisa saja menyeruak ke permukaan berdasar pada dua konfigurasi politik NTT yakni demografi pemilih dan agama. Dua hal ini adalah fakta yang harus disadari oleh rakyat sebagai pemilih, elit politik, dan calon pemimpin sebagai sebuah keniscayaan.
Namun demikian rakyat perlu menyadari bahwa masalah perebutan kekuasaan adalah perebutan para elit yang memiliki akses. Para elit ini yang menyetir sejarah dan menentukan strategi pemenangan. Para elit tak akan pernah berbicara tentang kekuasaan yang dimiliki rakyat karena rakyat adalah penguasa yang sebenarnya dalam perebutan kekuasaan antara para elit.
Proses penggiringan politik identitas dalam aneka cara dan bentuk pasti akan terjadi. Yang penting rakyat harus menyadari secara pasti bahwa politik identitas lebih mengutamakan emosi ketimbang rasio. Politik identitas terarah pada kepentingan dan pandangan kelompok sosial berdasarkan suku, agama, ras, gender, dan lain-lain, ketimbang diskusi politik yang bersumber pada masalah-masalah aktual yang sedang melanda rakyat NTT pada umumnya.
Sebuah penyadaran harus tumbuh bahwa praktek politik identitas dapat mengalihkan dan menyelewengkan energi dan perhatian dari isu-isu sosial yang lebih fundamental. Pengalihan dan penyelewengan isu sosial kepada politik identitas akan meniadakan fungsi rasio karena orang akan lebih digiring dan disesatkan oleh identitas keagamaan, keetnisan, dan lain-lain dari pada masalah-masalah faktual yang menyentuh langsung kehidupan rakyat.
Pemilihan pemimpin bukan soal rasa dan ikatan emosional semata. Lebih penting dari itu adalah ketajaman visi, misi, dan program yang akan menjawab secara langsung masalah rakyat. Diskusi politik harus lebih tajam membahas masalah-masalah sosial ketimbang politik identitas yang terfragmentasi.
Pesta demokrasi adalah pesta dari, oleh, dan untuk rakyat. Sudah saatnya membangun nuansa demokrasi yang cerdas dan sehat. Proses pilgub NTT harus mampu sampai pada level memilih tanpa terkontaminasi politik identitas yang bersifat temporal, aksidental, dan terbatas.
Rakyat harus menyadari secara pasti bahwa pesta demokrasi dalam pilgub NTT adalah pesta rakyat NTT. Rakyat sedang berpesta menentukan pilihan politis untuk memilih pemimpin NTT, tetapi bukan memilih pemimpin yang akan memimpin sekelompok rakyat dari agama, etnis, dan suku tertentu.
Yang paling fundamental dalam sebuah pesta demokrasi adalah kecerdasan dan kesadaran rakyat sebagai pemilih. Rakyat adalah tuan atas pesta demokrasi. Rakyat adalah penentu pilihan yang akan menempatkan pemimpin pada jabatannya atas pilihan mereka sendiri.
Pemilih yang cerdas harus mampu melampaui politik identitas. Kecerdasan pilihan akan mewujud dalam kesadaran bahwa politik identitas mencederai demokrasi, menodai hati nurani, dan mengangkangi akal sehat. Pemilih yang cerdas akan lebih memrioritaskan masalah-masalah sosial dan tawaran solusi atas masalah-masalah sosial yang sedang terjadi.
Aneka masalah sosial dalam konteks NTT adalah kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, korupsi, perdagangan manusia, dan lain-lain. Pada titik ini rakyat sebagai tuan atas pesta demokrasi, calon pemimpin, dan elit politik harus lebih banyak menguras pikiran, energi, dan waktu agar dapat menemukan solusi yang tepat atas masalah-masalah yang menimpa rakyat NTT.
Rakyat juga harus mampu berkaca dan menilik calon pemimpin yang transparan, kredibel, kompeten, bersih secara etis-moral, dan memiliki sepak terjang yang teruji dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban yang pernah diembannya. Sekali lagi, kriteria ini dapat tercapai ketika rakyat sebagai pemilih memiliki ketajaman akal budi, kemurnian hati, dan kejelian pilihan yang melampaui politik identitas.