Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pemilu dan Politik Identitas

2 Juni 2024   11:54 Diperbarui: 2 Juni 2024   11:54 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://indostrategic.co.id/memecah-kebekuan-politik-identitas/

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta telah memberikan nuansa tersendiri dalam percaturan politik nasional. Kemenangan Jokowi-Ahok memberikan harapan baru dalam berdemokrasi. Publik kemudian menyadari bahwa kemenangan pasangan ini merupakan kemenangan demokrasi dan kemenangan warga DKI dalam menentukan pilihan terhadap pemimpin yang mengerti masalah warga DKI.

Para pengamat politik dan demokrasi sepakat mengatakan bahwa rakyat mulai cerdas berdemokrasi. Rakyat menyadari bahwa politik identitas bersifat terbatas, rapuh dan semu. Pilihan untuk tidak memilih politik identitas telah menandakan tumbuhnya budaya demokrasi. Kecerdasan memilih melampaui politik identitas. Sekali lagi kemenangan Jokowi-Ahok menjadi bukti kemenangan demokrasi dan kemenangan rakyat yang cerdas dann bijak.


Pesta demokrasi DKI yang menjadi barometer politik dan demokrasi nasional berlanjut pada pemilihan gubernur berikutnya. Rivalitas pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi sangat terasa dalam percaturan politik DKI. Nuansa positif pesta demokrasi periode sebelumnya berubah negatif karena ternoda praksis politik identitas. Mencuatnya isu SARA sebagai bagian dari politik identitas dengan sangat kentara telah mencedarai pesta demokrasi.


Kepuasan rakyat terhadap kinerja Ahok-Djarot yang mencapai 70% ternyata kalah oleh politik identitas. Politik identitas yang mengusung isu agama dan etnis telah menggiring dan membelenggu pikiran rakyat. Rakyat lupa bahwa dalam politik ada retorika dan agitasi yang membelenggu akal sehat. Yang terjadi adalah kalahnya demokrasi. Rakyat lebih memilih pemimpin karena ikatan agama dan etnis ketimbang kinerja sang calon pemimpin.


Praksis politk identitas dalam percaturan politik nasional ternyata bukan hal asing dalam percaturan politik internasional. Amerika Serikat yang sangat populer sebagai negara demokrasi dalam praksis demokrasinya juga memanfaatkan politik identitas dalam pemilihan pemimpinnya. Para rival mantan presiden Barrack Obama bahkan pernah menyoalkan tempat kelahiran, warna kulit, dan agama. Walaupun Obama akhirnya memenangkan pemilu presiden, tetapi pada kenyataannya praksis politik identitas memainkan peran penting dalam kancah perpolitikan Amerika Serikat.


Donald Trump selama masa kampanye pilpres AS menyokong politik identitas dengan menyoal masalah ras, agama, dan gender. Jurus ini terbukti ampuh karena Trump dapat memenangkan pemilihan presiden untuk menggantikan Barrack Obama. Masalah justeru timbul setelah Trump menduduki jabatan presiden. Manakala politik identitas hendak diimplementasikan dalam beberapa kebijakan nasional justeru mendapat respons negatif. Mayoritas warga Amerika yang nota bene mencintai demokrasi dan pluralitas menolak dengan tegas kebijakan yang bernuansa ras, agama, dan gender.


Identitas Pilgub NTT


Sebuah fakta politis menunjukkan bahwa budaya politik NTT masih terbelenggu budaya politik parokial. Banyak pemilih tidak aktif dalam berpolitik tetapi memiliki kecenderungan dalam menentukan pilihan politik berdasarkan gerakan kelompok elit politik dan kelompok kepentingan (interest group). Ini menjadi soal serius karena ada ketakutan bahwa rakyat akan digiring oleh para elit politik ke dalam praksis gerakan politik identitas.


Para pengamat politik NTT menyebut konfigurasi pilgub NTT (2018) ke dalam tiga identitas dasar. Pertama, demografi pemilih yang merepresentasikan wilayah NTT. Konfigurasi yang dibangun adalah pemimpin yang merepresentasikan wilayah Flores-Lembata dan wilayah Timor-Alor. Pengandaiannya adalah pemimpin berasal dari wilayah Flores-Lembata dan wakilnya berasal dari wilayah Timor-Alor atau sebaliknya.


Kedua, representasi agama yang mengkonfigurasikan kekuatan dua agama besar di NTT yakni Katolik dan Protestan. Ini mengandaikan bahwa pencalonan berdasar pada konfigurasi pemimpinnya Katolik dan wakilnya Protestan ataupun sebaliknya pemimpinnya Protestan dan wakilnya Katolik.


Ketiga, konfigurasi kekuatan politik, yang berdasar pada kekuatan politik masing-masing partai politik. Mengingat tak satupun partai politik yang bisa mengusung calonnya sendiri maka akan sangat menarik menyimak riak perpolitikan NTT pada tataran elit politik yang disertai dengan pertimbangan kedua konfigurasi di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun