Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kehormatan: Antara Waka dan Waka-Waka

1 Juni 2024   13:07 Diperbarui: 1 Juni 2024   13:20 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap pegelaran Piala Dunia senantiasa meninggalkan cerita untuk ditelusuri dan dipelajari. Demikian halnya dengan pegelaran Piala Dunia 2010 yang telah usai beberapa tahun yang silam. Gema pesta empat tahunan yang telah lewat ini sangat terasa, baik di kota-kota besar pun di pelosok-pelosok daerah. Banyak orang larut dalam kegembiraan dan kesedihan ketika menyaksikan pertandingan yang di gelar di Afrika Selatan lewat siaran TV.

Banyak pengagum sepak bola mungkin menggeleng heran menyaksikan beberapa negara raksasa sepak bola harus pulang lebih awal, sedangkan beberapa negara non unggulan justru dapat melangkah lebih jauh.

Beberapa pertandingan awal terasa kurang meyakinkan dan sangat membosankan. Tak ada sepak bola indah dan gol spektakuler. Banyak negara seolah tampil di bawah standar dengan minimnya gol yang tercipta. Di balik kekecewaan ini, syukur ada jabulani, vuvuzela, dan Waka Waka-nya Shakira yang masih bisa diperbincangkan oleh banyak orang.

Waka Waka -nya Shakira

Lepas dari jabulani dan vuvuzela yang mengundang pujian dan cerca, lagu Waka Waka yang dilantunkan Shakira juga tak kalah hebohnya. Penyanyi Latin nan elok rupa ini boleh berbangga karena dapat bernyanyi bagi Afrika Selatan dan dunia, walaupun menimbulkan rasa iri dari banyak artis lokal yang tidak memperoleh kesempatan menyanyi untuk dunia dan bangsanya sendiri.

Aslinya waka waka dana tsaminamina yang ada dalam lagu ini merupakan sebuah lagu yang terkenal di tahun 1986. Lagu ini dinyanyikan oleh group lokal Kamerun yang bernama Golden Sounds. Lagu ini dipersembahkan untuk para tentara Afrika pada Perang Dunia II. Sampai sekarang, lagu ini kerap digunakan oleh tentara, polisi, pramuka, olahragawan, dan para suporter dalam berbagai kegiatan.

Waka Waka yang berarti "Sekarang Waktunya Afrika" dipilih oleh FIFA dan Sony sebagai lagu resmi Piala Dunia 2010. Lagu dengan tempo cepat dan bernuansa ceria ini menggambarkan energi dan keceriaan benua yang baru pertama kali menggelar pesta akbar Piala Dunia ini. Sepp Blatter, presiden FIFA mengatakan, "Waka Waka mewakili Afrika Selatan: semaraknya kehidupan, energi, dan semangat. Tak ada yang bisa lebih baik menggambarkan keceriaan sepak bola daripada musik, terutama yang bersemangat dan penuh energi seperti Waka Waka".

Shakira dalam lagu Waka Waka-nya hendak membangkitkan semangat Afrika: "People are raising//Their expectations//Go on and feed them//This is your moment//No hesitations (Orang makin berharap//Tampil dan tunjukkan kepada mereka//Inilah waktumu//Jangan ragu-ragu").

Sayang bahwa para peserta dari benua Afrika justru tak dapat berbuat banyak. Afrika Selatan sebagai tuan rumah pun tak mampu bertahan lebih lama untuk menunjukkan kebolehannya. Yang tinggal sampai babak empat besar hanya Ghana sebagai satu-satunya wakil benua Afrika. Dan akhirnya Ghana pun tak berdaya dan hanya dapat gigit jari.

Ternyata menjadi juara sepak bola sangat bergantung pada kemampuan pelatih meracik strategi dan kemampuan para pemain menerjemahkannya di lapangan. Perpaduan antar keduanya ditambah spirit dan sportivitas akan memampukan para peserta untuk dapat mengangkat trofi bergengsi yang menjadi tanda supremasi sepak bola.

Dalam dunia sepak bola semuanya bisa saja terjadi. Selalu saja ada faktor keberuntungan. Persoalannya keberuntungan memihak siapa, dan ini menjadi persoalan lain.

Gengsi/kehormatan Afrika memang dipertaruhkan dalam kancah sepak bola dunia. Pembuktian menjadi harga mati. Kemenangan berarti pengukuhan gengsi/kehormatan di mata dunia. Walaupun akhirnya harapan itu tak terwujud, kiranya Ghana sebagai satu-satunya wakil Afrika yang dapat melangkah lebih jauh dapat juga keluar lapangan dengan kepala tegak karena mereka dapat menang secara terhormat.

Yang pasti untuk menjadi sang pemenang tidaklah gampangan dan atau murahan. Untuk menjadi pemenang dibutuhkan latihan yang terus-menerus, kerja keras, skill individu, kekompakan tim, dan fair play. Semuanya mewujud dalam proses dan tidak pernah sekali jadi seperti membalikkan telapak tangan. Mimpi akan menjadi kenyataan dalam waktu yang tepat. Trofi akan diraih dari sebuah proses kerja keras yang terus-menerus. Kehormatan menjadi puncak kejayaan yang sesungguhnya bila semuanya diraih secara jujur tanpa mengorbankan orang lain.

 

Waka : Kehormatan, Gengsi

 

Terinspirasi dari lagu Waka Waka-nya Shakira, saya ingat akan waka -nya orang Bajawa atau waka-nya orang Flores pada umumnya.Waka dalam bahasa Bajawa dapat berarti gengsi atau kehormatan. Waka bertalian langsung dengan dahi (matangia) atau wajah yang biasanya langsung dilihat orang. Ini biasanya dikaitkan dengan ungkapan "go waka" (wajah dan kehormatan/gengsi). Bila terjadi kesalahan atau kekeliruan, kerap terdengar ungkapan, "Mukaku/mu mau disimpan dimana?". Jadi waka-nya orang Bajawa berarti gengsi atau kehormatan dalam relasinya dengan penilaian orang lain.

Waka (gengsi/kehormatan) dapat dihubungkan dengan banyak aspek dalam relasi sosial. Nilai dari gengsi/kehormatan dilihat dari kemampuan memberikan makan kepada orang banyak ketika mengadakan pesta (nikah, komuni pertama, pembangunan rumah, dan lain-lain). Gengsi/kehormatan juga dikaitkan dengan kerelaan membantu sesama yang menderita (sakit, mati, dan lain-lain) lewat pemberian sumbangan atau sekurang-kurangnya kehadiran nyata dalam peristiwa tersebut.

Selain itu, gengsi/kehormatan juga kerap dikaitkan dengan perbuatan negatif dari orang lain. Terhadap yang terakhir ini, gengsi/kehormatan adalah harga mati yang harus dijaga supaya orang lain tidak menghina atau mempermainkannya. Hal terakhir ini bisa menjadi rumit bila kemudian dihubungkan dengan relasi keluarga. Gengsi/kehormatan/nama baik harus dijaga supaya orang lain sedapat mungkin bisa menghormatinya.

Di atas segalanya, bagi orang Bajawa dan mungkin untuk kebanyakan orang Flores pada umumnya, waka (gengsi/kehormatan) kerap dikaitkan dengan kesanggupan mengadakan pesta. Ukuran waka (gengsi/kehormatan) seseorang dikaitkan dengan seberapa besar sebuah pesta diselenggarakan dan seberapa puasnya orang terlibat dan menikmati pelayanan pesta yang sedang diselenggarakan.

Sayang bahwa nilai dari sebuah gengsi/kehormatan direduksi sebatas kenikmatan mulut dan kepuasan perut. Ini sangat berbeda dengan konsep gengsi/kehormatan pada banyak suku bangsa lainnya, yang menilai gengsi/kehormatan dari kesanggupan keluarga untuk menyekolahkan anak, melimpahnya harta, pendidikan/pengetahuan yang memadai, dan hal-hal lain yang lebih positif dalam membangun masa depan yang lebih baik.

Kemiskinan dan kemelaratan di bidang ekonomi kerap dipersoalkan. Satu dari beragam penyakit kronis yang harus segera diobati adalah nilai waka dalam pesta ini. Pesta sebagai sarana pemersatu keluarga dan kebersamaan, juga sebagai ungkapan kegembiraan manusiawi adalah wajar untuk dilaksanakan. Namun, adalah keanehan yang luar biasa bila dalam realitas kemiskinan dan penderitaan, pesta yang luar biasa mewah diselenggarakan. Bukankah ini sebuah pemborosan yang tidak perlu?

Kerap terjadi bahwa setelah pesta diselenggarakan, pihak penyelenggara pesta harus pusing tujuh keliling untuk membayar utang pesta. Ternyata kesenangan dan kenikmatan semalam masih harus dibayar dalam jangka waktu yang panjang. Tak jarang pula mengorbankan banyak waktu, tenaga, dan materi untuk membayarnya. Pesta usai tetapi utang masih harus dibayar. Inilah kekeliruan lain yang kerap terjadi.

Bertalian dengan realitas ini, kiranya nilai sebuah gengsi/kehormatan seharusnya dilihat dalam konsep dan kaca mata yang lebih luas dan mendalam.

Gengsi/kehormatan bisa mencakup banyak aspek dalam bidang kehidupan, misalnya karena melakukan kebaikan, memiliki pendidikan dan pengetahuan yang memadai, kesanggupan orang tua dalam mendidik dan menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, kesanggupan untuk keluar dari jerat kemiskinan, serta beragam prestasi lain yang membanggakan.

Kiranya waka (gengsi/kehormatan) tidak dapat direduksi sebatas kenikmatan mulut dan kepuasan perut. Waka (gengsi/kehormatan) juga tidak dapat dinilai sebatas pujian dan sanjungan orang banyak, tetapi lebih dari itu menyangkut kualitas personal dan kelompok untuk menata dan membangun sebuah peradaban manusia yang lebih manusiawi dalam beragam aspek kehidupan.

* * *

Waka Waka-nya Shakira bagi benua Afrika masih dan sedang dalam proses pembuktian. Perjuangan sedang dan akan terus berlangsung sepanjang sepak bola masih dicintai oleh penghuni jagad ini. Bila bukan sekarang, mungkin empat tahun, delapan tahun, atau dua belas tahun ke depan. Bila saatnya trofi bergengsi itu diangkat oleh pemuda-pemuda Afrika, Waka Waka-nya Shakira menjadi sebuah kenyataan.

Yang pasti bahwa Waka Waka-nya Shakira menjadi kesempatan pembuktian di ajang olahraga dan sebuah usaha bersama demi peningkatan ekonomi, bantuan sosial untuk anak-anak Afrika yang membutuhkan pendidikan, serta solidaritas untuk membangun sebuah peradaban manusia tanpa sekat yang membedakan satu dengan yang lainnya.

Satu pertanyaan kecil yang menggelitik, bila Waka Waka-nya Shakira merupakan ungkapan harapan untuk meraih mimpi indah, apakah waka -nya (gengsi/kehormatan) orang Bajawa, Flores, dan NTT pada umumnya masih sebatas mimpi mengadakan pesta yang memiskinkan? Mata dunia juga sedang menatap Flores dan NTT. Mudah-mudahan waka kita lebih terarah pada kebaikan dan kemajuan yang memerdekakan. Mari kita bersama membuktikannya.

Tulisan yang sama dapat dibaca dalam:

1. https://andreasneke.blogspot.com. 

2. Buku " Iman yang Membumi, Menelusuri Praksis Berimana Masyarakat Ngada, Flores, NTT", karangan Andreas Neke

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun