Semuanya akan terwujud bila rakyat sebagai pemilik demokrasi menilik dengan cerdas visi, misi, serta program kerja setiap calon pemimpin, terutama yang bertalian dengan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat atau pengentasan kemiskinan. Ini tidak hanya berorientasi kemajuan material semata, tetapi harus berbarengan dengan upaya serius untuk penyadaran pola hidup masyarakat baik secara personal, sosial, adat, dan agama.
Sejalan denganya, para calon pemimpin harus menyadari bahwa tingginya biaya politik tidak dapat menjadikan status keterpilihan menjadi momen pengembalian modal. Ini akan kembali menempatkan korupsi sebagai raja kekuasaan. Yang dengannya berarti pula harus berani menjalankan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Tak hanya itu saja, pengentasan kemiskinan dan berbagai dampak lanjutannya harus berciri lokal. Ini berarti bahwa upaya pengentasan kemiskinan harus memanfaatkan SDA dengan memperhatikan potensi daerah seperti kelautan dan perikanan yang berlum terjamah maksimal, pertanian dan peternakan, serta pariwisata.
NTT bukannya prov insi tanpa SDA yang menjanjikan. Sumber daya kelautan dan perikanan menjadi catatan khusus mengingat dua potensi ini sejatinya belum digarap secara serius. Luasnya wilayah laut dengan beragam potensi yang terkandung di dalamnya terkesan belum terjamah karena para nelayan masih menggunakan cara dan pola tradisional untuk memperoleh hasil maksimal dari sektor kelautan dan perikanan karena belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam membantu mereka memanfaatkan sektor ini untuk kehidupan yang lebih baik.
Di sektor pertanian, NTT juga termasuk dalam kategori propinsi penghasil komoditi ekspor unggulan seperti kopi, cengkeh, jambu mete, dan lain-lain. Tetapi karena persoalan teknis, masalah klasik tetap mengemuka, dalam mana rendahnya kualitas komiditi menyebabkan produksi pertanian NTT kalah bersaing di pasar internasional. Padahal jika digarap dengan serius, persoalan kemiskinan bisa teratasi secara perlahan melalui pemanfaatan sektor pertanian ini.
Sektor peternakan juga merupakan aset daerah yang tak ternilai. Luasnya padang rumput kiranya menjadi potensi besar untuk mengembangkan sektor peternakan. Tetapi karena keterbatasan pengetahuan ditambah dengan minimnya asupan bibit ternak menjadi persoalan serius sehingga potensi ini kurang dimaksimalkan. Padahal jika mendapat perhatian serius, NTT tentu tak akan kalah dengan Australia dalam menghasilkan sapi dan atau daging sapi.
Di samping itu pula ada sektor pariwisata. Mengutip pendapat salah satu kandidat pemimpin NTT, menyebut bahwa pariwisata NTT layaknya seorang gadis yang belum mandi. Gagasan ini kiranya benar mengingat setiap daerah memiliki potensi wisata yang bila digarap secara serius bisa saja menjadi potensi wisata bertaraf internasional.
Persoalannya tetap sama. Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan pengelolaan kembali menjadikan provinsi ini tetap miskin di tengah kekayaan yang beragam, misalnya wisata rohani, adat, dan alam. Tiga kekayaan wisata ini kiranya pula mendapat perhatian serius untuk penggarapan ke depannya. Bila tidak, aneka kekayaan ini tak ada faedahnya sama sekali bagi masyarakat NTT sebagai pemilik kekayaan tersebut.
Dengan demikian, calon pemimpin NTT perlu mengkaji dan menggali aneka potensi lokal. Tanpa upaya ini maka persoalan masyarakat NTT akan tetap menjadi persolan tanpa jalan keluar, walaupun dalam kondisi kekayaan alam yang serba menjanjikan.
Kejelian seorang pemimpinn terletak pada kemampuan memanfaatkan segala potensi daerahnya, baik SDM maupun SDA-nya untuk kemajuan daerahnya sendiri. Bila kemampuan ini tak dimiliki oleh seorang calon pemimpin, maka tak sewajarnya menjadi pemimpin. Karena tanpa kemampuan ini, persoalannya akan tetap sama yakni hanya menunggu alokasi dana dari pemerintah pusat.
Selanjutnya, setelah anggaran negara dikucurkan, upaya perealisasiannyapun akan menimbulkan persoalan lain yakni bagi-bagi anggaran yang berujung pada tindakan korupsi. Kenyataan ini bukanlah hal asing, karena telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti praksis pemerintahan di sejumlah wilayah NKRI, termasuk NTT.
Pada akhirnya kembali kepada rakyat sebagai pemilik demokrasi. Sebuah ajakan dan tawaran agar rakyat kembali memaknai demokrasi secara benar. Tak seharusnya suara demokrasi dibeli oleh selember uang kertas atau apapun itu. Yang terpenting adalah kejelian memilih pemimpin dengan kompetensi penanganan kemiskinan agar stigma provinsi miskin tidak terus melekat.
Lebih dari itu adalah agar masyarakat provinsi ini dapat hidup secara layak dan wajar tanpa bayang-bayang tingginya angka putus sekolah, rawan pangan, gizi buruk, perdagangan manusia, dan lain-lain. Bila semuanya dapat mewujud dalam kehidupan masyarakat, mahalnya pesta demokrasi telah terbayarkan karena telah pula menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat NTT.