Dua atau tiga hari terakhir, secara tidak sengaja, saya menemukan sebuah berita yang berjudul "Staf museum Vatikan ajukan pengaduan minta perbaikan kondisi kerja".
Rasa ingin tahu memicu untuk mencari dan menemukan secara lebih rinci. Dan pada akhirnya saya menemukan pemberitaan dengan isi yang sama dari berbagai media nasional dan internasional.
Dikutip dari KOMPAS.com, "sebanyak 49 orang pegawai Museum Vatikan di Roma, Italia diketahui telah mengajukan petisi kepada Paus Fransiskus. Menurut harian Italia, Corriere della Sera seperti dikutip Kompas.com, Rabu (15/5/2023), para pegawai tersebut mengklaim bahwa mereka diperlakukan seperti komoditas dan merasa tidak dipedulikan soal kesejahteraan dan kesehatannya.
Â
Keluhan yang disampaikan antara lain bahwa museum sering kali menerima lebih banyak pengunjung dalam satu hari daripada yang diizinkan oleh batas maksimum masuk. Hal ini menyebabkan kepadatan berlebih di dalam museum."
Keluhan lainnya adalah jumlah pintu keluar darurat dalam beberapa kasus tidak memadai, seperti di lorong Kapel Sistina yang hanya memiliki satu pintu keluar di kedua ujungnya. Dikatakan, terdapat banyak ruangan di museum yang tidak memiliki AC sehingga menyebabkan ketidaknyamanan ketiga para staf bekerja.
Dan keluhan terakhir adalah para pekerja mengaku mereka diperintahkan bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19, tetapi diminta untuk mengembalikan gaji yang diperoleh selama periode tersebut.
Setelah membaca informasi dari beberapa media, saya belum menemukan tanggapan resmi atas aduan tersebut. Tetapi ada hal lain yang hendak saya sampaikan berkaitan dengan pemberitaan ini.
Hal yang akan saya sampaikan berikut, lagi-lagi merupakan bukti cinta yang tulus kepada Gereja, dan bukan sikap antipati atau pembangkangan kepada Gereja. Ini semata-mata untuk "membaharui" tata kelola pekerja yang bekerja di dalam institusi dan pelayanan-pelayanan Gereja seperti di paroki-paroki dan yayasan-yayasan atau unit-unit yang dikelola Gereja.
Pada kesempatan ini saya ingin mengatakan bahwa bisa saja ada paroki-paroki atau yayasan-yayasan atau unit-unit pelayanan yang dikelola Gereja, yang memperlakukan para pekerja layaknya komoditas. Dengan alasan pelayanan dan cinta kasih, mereka digaji dan diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.
Ini artinya bahwa kehidupan perekonomian mereka hanya sebatas "cukup", atau bahkan jauh dari ukuran kecukupan.