ABAI DEMI HARMONI
Bincang-bincang ringan terjadi di suatu senja. Sambil menikmati cita rasa kopi khas Bajawa dan sebungkus rokok, seorang sahabat berujar, "Bajawa ini menyimpan banyak hal terselubung. Kalau tidak segera ditangani, maka akan seperti gunung es, yang bisa saja meledak/meletus pada suatu waktu. Bajawa ini kota dingin tetapi sebenarnya panas".
Saya terdiam seolah mengiakan apa yang baru dikatakannya. Pikiran liar saya mulai ke sana kemari. Dan pembicaraan pun makin meluas dengan beragam hal yang sudah dan sedang terjadi dalam masyarakat dalam beragam dimensi kehidupan.
Pada akhirnya kami bersepakat bahwa memang banyak hal terselubung yang sengaja dibungkus. Salah satu faktor penyebabnya adalah masyarakat sudah sangat lama hidup dalam salah kaprah memahami konsep budaya, sehingga seolah-olah membenarkan banyak hal yang terjadi dalam masyarakat, walaupun itu adalah sebuah kesalahan.
Salah satu filosofi budaya masyarakat Bajawa yang sering kali diungkapkan dalam beragam kesempatan adalah "modhe ne'e soga waoe, meku ne'e doa delu". Secara harfiah ungkapan ini berarti berbuat baik dan bersahabat atau berdamai dengan semua orang (Andreas Neke, Iman yang Membumi, hal, 26).
Masyarakat Bajawa paham betul dengan ungkapan ini. Dan ungkapan ini sudah menjadi habitus masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Bajawa sangat cinta damai. Semua orang akan diterima dan dilayani dengan baik. Siapapun yang datang pasti  tanpa kesulitan untuk berada dan tinggal di kota dingin ini. Dan serentak dengan itu pula akan merasa betah dan kerasan berada bersama bersama mereka.
Namun demikian, ungkapan ini juga kerap salah kaprah dalam prakteknya. Ungkapan leluhur ini sering melahirkan kompromi hanya sekedar menjaga harmoni dengan mengabaikan prinsip kebenaran. Bersamaan pula melahirkan banyak sisi terselubung dengan maksud menjaga harmoni dalam sebuah kebersamaan.
Pertanyaan dasarnya adalah apakah demi sebuah harmoni harus mengorbankan prinsip kebenaran dalam kebersamaan?
Sisi Gelap Kompromi
Masyarakat Bajawa sangat kental juga praksis yang mengedepankan gengsi dan nama baik. Kedua hal ini sering berjalan berbarengan. Gengsi berarti kehormatan dan martabat yang penting untuk dipertahankan dan diperjuangkan dalam kehidupan, walaupun pada praksisnya sering mengorbankan diri sendiri demi orang lain.