Mohon tunggu...
andreas tampubolon
andreas tampubolon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya lahir di binjai, sumatera utara. saat ini saya menempah ilmu di Universitas Negeri Medan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak Suka Sama Eli!

21 Mei 2016   04:39 Diperbarui: 21 Mei 2016   04:51 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bapak Suka Sama Eli!

Oleh : Agus Andreas Tampubolon

Siang itu, dengan langkah tergesa-gesa ku tempel tulisan itu di mading sekolah. Harapan ku akan kau baca tulisan itu Eli. Membaca dan merenungkan apa yang ku maksud. Jika kau tak memahaminya. Besar harapan ku kau datang dan bertanya pada ku. Aku menunggu.

**

Seminggu setelah tulisan itu di mading. Eli datang pada ku. Hanya aku sendiri di ruang guru. Matahari berada di atas kepala. Panas cuaca siang ini. Eli datang dengan baju sekolah putihnya yang kebesaran. Selalu rapi dengan rambut yang diikatnya. Rambut ikal bergelombang yang berwarna hitam pekat. Berwajah lonjong dengan hidung yang bulat seperti jambu. Kulitnya yang kuning langsat. Kacamatanya yang besar. Badannya sedang dan tak terlalu tinggi. Senang hati ku atas kedatangannya. Dia datang dengan temannya. Gia.

Dengan kerut di kening dia berjalan. Dari langkahnya aku tahu ada banyak pertanyaan di dalam pikirannya. Aku yakin dia sudah membaca tulisan itu. Waktu seminggu mungkin waktu yang dipakainya untuk memahami maksud tulisan ku. Aku yakin dia belum memahaminya. Tapi Gia yang ikut bersama Eli selalu dengan senyum indah. Gadis tinggi berbadan ramping. Berkulit putih bersih. Hidung mancung. Rambutnya yang lurus dan panjang serta berwarna hitam itu selalu di lepasnya begitu saja. Jika berjalan begini Gia cocok sekali menjadi model. Ahk. Kenapa jadi Gia. Aku melantur.

            “Selamat siang Pak” tanya Eli sambil menunduk.

            “Siang Eli. Ada apa datang  kemari? Bukankah nilai ulangan kalian sudah saya bagikan.” Jawab ku pura-pura tidak tahu.

            “Iya Pak. Saya sudah lihat hasilnya”

            “Lantas apa saya ada salah memeriksa?”

            “Tidak Pak”

            “Jadi?”

Eli diam. Dia tak bersuara. Matanya memandang ke lantai. Tapi aku tahu dia hanya sedang mempersiapkan kata-kata. Dia hanya menunggu waktu. Sementara Gia hanya memandangi sekitaran ruang guru. Sambil sekali-sekali mengguit lengan Eli. Terdengar suaranya kecil berbisik pada Eli.

            “Katakan saja. Ada apa? Sebentar lagi saya masuk ke kelas” Aku memancing agar dia berbicara.

            “Begini Pak. Saya mau tanya tentang maksud tulisan Bapak di mading. Saya tidak mengerti”

            “Hal apa yang tidak kau pahami Eli?”

            “Begini Pak, banyak teman-teman yang mengomentari tulisan itu. Kata meraka...”

            “Kata mereka Bapak suka sama Eli” sahut Gia tiba-tiba memotong.

            “Apa benar itu Li?” Aku terkejut, namun harus tetap tenang.

            Eli berdiam diri dan masih merunduk melihat lantai “Benar Pak”

            “Lantas, apa yang ada dipikiran kau sesungguhnya Eli? Itu kata mereka. Saya ingin tahu jawaban dari hasil pikiran mu setelah membaca itu” Aku berusaha tenang dan tetap santai sambil menatap wajah Eli.

            “Saya tidak tahu maksudnya Pak. Saya hanya merasa malu karena itu. Teman-teman beranggapan Bapak suka sama Eli” Eli lebih berani dan mulai melihat aku sekali.

            Aku hanya tersenyum. “Bagaimana tanggapan kamu Gia” mencoba mengalihkan sementara.

            “Kok jadi saya Pak. Saya hanya menemani Eli. Saya tidak tahu apa-apa” Gia terkejut.

            “Saya bertanya pendapat kau Gia. Kau sudah baca?”

            “Sudah Pak”

            “Lantas apa tanggapan mu?”

Gia tampak kikuk. Lirikan matanya yang tadinya liar kini menatap lantai keramik ruang guru. Dia sudah seperti Eli. Dia memikirkan jawaban yang tepat dan tidak menyakiti hati ku. Dia takut dan ragu untuk berkata.

            “Apa tanggapan mu Gia?” Tanya ku sekali lagi dengan lembut dan tetap tersenyum.

            Gia mulai menatap ku dan berkata “Bapak suka sama Eli”

            “Kenapa kau berpikir begitu Gia?”

            “Karena Bapak menulis untuk Eli” Jawab Gia mulai berani. Sedangkan aku hanya tersenyum.

            “Seandainya Bapak menulis untuk mu, apa Bapak suka sama mu?”

            “Bisa jadi seperti itu Pak”

            “Seandainya saya menulis untuk Rio, apa saya suka sama Rio?”

            “Bapak tidak mungkin menulis untuk Rio. Dia laki-laki”

            “Baiklah. Silahkan masuk ke dalam kelas”

            “Tapi pak!” Gia sepertinya belum puas dengan jawaban ku. Sementara Eli terus merunduk.

            “Sudah. Masuk ke kelas. Pasti Guru kalian sudah menunggu di kelas” Jawab ku agak sedikit keras.

Eli dan Gia pun pergi. Gia sepertinya belum puas dengan jawaban ku. Wajahnya tampak kesal saat berjalan. Sambil berjalan dia terus mengusik Eli. Sementara Eli hanya merunduk. Eli sepertinya masih memikirkan sesuatu.

Hati ku jadi gusar. Kenapa jadi seperti ini? Kembali ku periksa tulisan ku. Ku perhatikan lamat-lamat kata demi kata dalam tulisan itu. Apa ada unsur suka di dalamnya. Semakin dalam ku perhatikan dan cermati tak ada unsur suka disitu. Aku pun diam dan merenung. Otak ku bercabang mencari solusi. Sudah seperti Pegadaian saja. Apa perlu aku ke Pegadaian. Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Ahk, kenapa jadi ngawur. Sial.

Setelah beberapa menit. Tiba-tiba ide  itu datang begitu saja. Kerja otak ini memang aneh. Lelah berpikir ide itu pergi. Waktu tak di pakai berpikir, dia datang begitu saja. Akhirnya ku tulis begini.

Memberi komentar itu baik. Setiap manusia berpikir pasti mengomentari. Itulah gunanya indera mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, mulut untuk berbicara dan kulit untuk merasa.  Namun, bukankah hewan juga memiliki itu? Sedangkan manusia itu punya akal. Akal itulah yang di pakai untuk mengkombinasikan apa yang di lihat, di dengar, di cium, di rasa dan di kata. Tapi ingat pepatah “mulut mu harimau mu”. Tampilkanlah apa yang mulut gunakan itu menjadi nyata, jika kau belum mampu menyatakannya, kau belum memahaminya. Nyatakanlah dia. Jika kau belum mampu menyatakannya, jangan mengatakannya. Jika kau sudah mampu menyatakannya, lengkapilah dia dengan hati. Saya tunggu pemahaman kalian.

Tersenyum aku setelah selesai menuliskannya. Setelah pulang sekolah ku tempel tulisan ini di mading Eli. Sengaja aku menempelkannya setelah tidak ada lagi siswa. Ahk. Sambil berjalan aku terus tersenyum. Aku teringat Gia dengan pernyataannya “Bapak suka sama Eli”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun