Mohon tunggu...
andreas tampubolon
andreas tampubolon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya lahir di binjai, sumatera utara. saat ini saya menempah ilmu di Universitas Negeri Medan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Pena untuk Eli

20 Mei 2016   10:05 Diperbarui: 20 Mei 2016   10:08 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah Pena Untuk Eli

Oleh : Agus Andreas Tampubolon

Kapan terakhir kali kau gunakan pena itu untuk merenung Li. Kapan? Padahal tumpukan kertas yang kau punya itu sudah lama menantikan guratan isi hati mu. Tak kah kau merindu pada kertas-kertas itu? Rindukan dia Li. Rindukan. Jika sekejap saja kau rindukan dia maka selamanya dia akan selalu bersama mu. Selamanya Li. Selalu dia ada dalam setiap langkah mu.

Namun Li, sepertinya kini kau banyak tertawa. Tertawa kepada kehidupan yang kau jalani kini. Bukan maksud ku untuk mencegah mu tertawa Li. Tidak. Tidak pernah aku bermaksud begitu. Hanya saja aku rindu pada pena itu. Aku rindu pada kertas mu. Aku rindu pada keduanya bersatu menjadi satu. Dan kau ada disitu Eli.

Ingatkah kau pada majalah dinding yang kau buat itu. Majalah dinding yang kau buat sudah sangat indah. Tapi apalah keindahan tanpa kehadiran sesuatu yang diharapkan untuk menjadikan semakin indah. Lihatlah burung-burung di pagi hari Li. Mereka bernyanyi. Dengan suara-suara yang dihasilkannya. Mengindahkan pagi bukan? seharusnya begitu jugalah majalah dinding yang kau buat indah itu. Mengindahkan pagi yang telah indah.

Aku jadi teringat teman SMA ku dulu Li. Mungkin saat itu kau masih di Sekolah Dasar. Tapi, bukan itu masalahnya Li. Aku teringat pada cita-citanya. Keinginannya menjadi tentara begitu menggebu-gebu. Bergerak di dalam tubuhnya. Membara penuh semangat. Seperti panas bara yang melajukan lokomotif. Tapi dia gagal Li. Kenyataan membuat lain. Dia tak jadi tentara. Dia jadi pekerja kontrak di Jepang. Dia bertemu sakura. Dia bertemu wanita Jepang yang terkenal putih bersih. Dia bertemu kehidupannya disana Li. Dan kini, cita-citanya dan dirinya sendiri tak pernah ku temui lagi. Cita-cita itu berakhir Li. Dia temukan cita-cita yang baru bersama cinta yang ditemukannya disana. Begitulah hidup Li. Selalu ada hal yang berbeda. Kata dosen ku dulu waktu kuliah Li “Das Sein, Das Sollen”. Artinya Li yang nyata dan yang dicita-citakan. Dan dia lebih melihat yang nyata Li.

Li, aku takut. Aku takut hanya akan jadi seperti dia. Aku takut suatu hari nanti ketika sang waktu datang, aku justru akan melihat yang nyata. Dan yang ku rindukan dari pena itu dan kertas mu tak ku ingat lagi. Aku takut kenyataan itu Li. Tapi, apalah daya ku. Lagi-lagi Li, kehidupan ini memaksa setiap manusia untuk selalu berpindah. Dari satu tempat ke tempat lain. Nomaden Li. Pasti pernah kau mendengar kata-kata itu dari ku. Pasti. Dan sampai sekarang kita pun masih nomaden. Hanya caranya saja yang berbeda Li.

Li, Aku takut. Aku takut sampai berakhirnya masa ku berada disekitar mu. Aku akan nomaden. Dan kisah kita Li. Mading mu. Pena itu. Kertas mu. Tak bisa ku melihatnya. Hanya kenangan tempat itu yang akan tersisa. Tempat yang jika kau pikir tetap disitu, padahal sejatinya sudah berpindah dan berubah. Jangan kau pikir sekolah ini tetap Li. Jangan kau berpikir mading itu tetap. Jangan kau berpikir pena itu tetap. Jangan kau berpikir kertas mu tetap. Kau salah. Dia berpindah Li. Dia bergerak. Hanya saja belum kau menyadarinya. Kau harus menyelami lagi ‘Gravity’ Einstein. Bukan kekekalan massa menurut Lavoiser Bapak ilmu kimia modern itu atau juga perbandingan tetap Proust ahli kimia itu.

Untuk itu Li, aku berharap kau masih menyimpan pena yang ku beri ketika kau juara 1 di sekolah. Sebenarnya pena itu bukan hadiah karena kau juara 1 Li. Bukan. Bagi ku kau bukanlah sang juara. Sang juara menuliskan sesuatu dengan penanya. Pena bisa dari orang lain, kertas juga, tapi tulisan itu harus dari kau sendiri Li. Tulisan yang memperindah mading indah mu. Tulisan yang menunjukan kau pantas juara 1 Li. Dan waktu-waktu kini tampaknya kau belum buka pena itu. Disitulah ku tuliskan harapan ku pada mu Eli. Di dalam pena itu. Lakukanlah Li sebelum aku dikejar sang waktu dan berlalu dari mu dan melihat apa yang nyata itu.

Penulis Merupakan Tenaga Pendidik Di SMA/SMK Swasta yapim Taruna Stabat

Mahasiswa Pascasarjana Unimed Prodi Pendidikan Dasar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun