Ada banyak contoh nyata bagaimana agama ditafsirkan, diajarkan dan dipraktekkan dengan penekanan pada sikap eksklusif dan intoleran. Salahsatu contoh adalah ceramah-ceramah yang menekankan pada keburukan agama lain yang bertebaran di berbagai media sosial, dan dilakukan oleh tokoh agama yang digandrungi oleh banyak orang, terutama anak muda. Contoh lainnya adalah organisasi-organisasi agama yang juga menekankan pada sikap eksklusif dan intoleran dan diikuti oleh banyak anak muda.Â
Kebijakan-kebijakan diskriminatif yang dibuat di sekolah dan universitas juga merupakan contoh lainnya. Dan jangan lupa, ada juga pembangunan dan penjualan perumahan yang diskriminatif, atau dikhususkan untuk masyarakat dari agama tertentu saja. Masih banyak contoh lainnya lagi, seperti penolakan pembangunan rumah ibadah agama lain, penolakan pemakaman pemeluk agama yang berbeda, dan praktek-praktek politisasi agama dalam perhelatan pemilu seperti pada Pilgub DKI Jakarta yang sangat brutal pada tahun 2017 yang lalu. Semuanya ini dapat berkontribusi pada sikap ekskusif dan intoleran, yang bermuara pada radikalisme dan bahkan terorisme.
Jadi bagaimana menangkal dan mencegah terorisme? Berhentilah mengajarkan agama dengan cara-cara yang menumbuhkan 'in-group love' dan 'out-group hate'. Mulailah dengan menyebarkan secara lebih massif penafsiran dan ajaran-ajaran agama yang menekankan pada inklusifitas, toleransi, penghargaan terhadap kemanusiaan tanpa memandang latar belakangnya, dan kerjasama dalam perbedaan. Media-media sosial dapat digunakan untuk menyebarkannya. Sikap dan perilaku yang intoleran dan menolak keberagaman perlu diluruskan. Begitu juga dengan pandangan yang bias serta stereotype terhadap agama yang berbeda. Dan jangan lupa, politik identitas atau politisasi agama juga harus dihindari.
Walaupun agak terlambat, saya sependapat dan mendukung SKB 3 Menteri untuk menangkal kebijakan-kebijakan diskriminatif di dunia pendidikan. Sangat disayangkan kalau Mahkamah Agung membatalkan kebijakan ini.Â
Begitu juga dengan pembubaran HTI dan FPI. Pemerintah melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan juga lembaga-lembaga agama seperti NU, Muhammadyah, dan MUI sebenarnya bisa menginisiasi dan menggalakkan program-program yang mendorong inklusifitas, toleransi, dan kerjasama dalam perbedaan, terutama di kalangan remaja dan anak muda yang selama ini sudah terpapar oleh radikalisme atau mempunyai kecenderungan untuk bersikap intoleran. Melihat hasil survei yang disebutkan di atas, jumlah anak muda seperti ini tidak sedikit.Â
Olahraga, seni dan budaya, sains dan bahkan kegiatan berbasis keagamaan bisa dijadikan media untuk mendorong inkusifitas, toleransi, dan kerjasama dalam perbedaan. Sebagaimana pepatah lama, tak kenal maka tak sayang. Semua kegiatan yang dapat menjembatani mereka yang berbeda agama, terutama jika dirancang dengan baik, akan membantu menangkal intoleransi, radikalisme dan terorisme. Sebaliknya, agama dapat lebih sering digunakan sebagai sumber kebaikan dan kedamaian. Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H