“Enam puluh tahun lalu, solidaritas Asia-Afrika, kita kumandangkan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Untuk menciptakan kesejahteraan dan untuk memberi keadilan bagi rakyat kita. Itulah gelora KAA 1955. Itulah esensi semangat Bandung.” (Pidato Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika, 22 April 2015)
Pada saat pertemuan puncak KAA dimulai pada hari Rabu, 22 April dan dibuka oleh presiden Jokowi, Kapolri Jendral Badrodin Haiti melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Wakapolri. Di tengah kemeriahan pembukaan KAA, pelantikan BG sebagai Wakapolri dilakukan secara tertutup. Di tengah pujian terhadap keberanian Presiden Jokowidalam pidatonya di pembukaan KAA yang mengkritik peran PBB dan lembaga keuangan internasional, cibiran juga diarahkan pada presiden Jokowi yang sepertinya tidak berdaya terhadap upaya pengangkatan BG sebagai Wakapolri.
Itulah pesan yang tertangkap dari dua peristiwa pada hari yang sama. Semangat yang berbeda dari dua peristiwa pada hari yang sama. Semangat dan gelora KAA untuk melawan tirani ekonomi kapitalistik negara-negara maju tidak dibarengi dengan semangat dan gelora untuk melawan budaya korup yang berkembang di negeri sendiri. Padahal, selain menghadapi kesenjangan dan ketidakadilan akibat sistem ekonomi yang bersifat eksploitatif terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika, bangsa-bangsa Asia Afrika juga dihadapkan pada tantangan kesenjangan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam negara masing-masing.
Sebagian besar dari penduduk di Asia dan Afrika yang mencapai 75% dari jumlah penduduk dunia masih hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di berbagai wilayah di Asia dan Afrika tidak dapat dipungkiri disebabkan juga oleh praktek dan budaya korupsi dan oligarki di negara masing-masing. Tata kelola pemerintahan yang buruk juga menjadi salahsatu penyebab konflik kekerasan di berbagai wialayah di Asia dan Afrika. Untuk itu, perubahan dan transformasi bukan saja harus ditujukan pada tata ekonomi dan pemerintahan global, tapi juga harus ditujukan pada tata ekonomi dan pemerintahan di negara masing-masing. Negara-negara Asia dan Afrika dituntut untuk sungguh-sungguh membangun tata pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel sebagai syarat untuk menjadi negara maju dan sejahtera.
Dalam konteks itu, sangat disayangkan jika presiden Jokowi tidak menunjukkan dukungan yang serius terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri sendiri, padahal beberapa butir nawacita berbicara mengenai tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya serta penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Sangat disayangkan jika presiden Jokowi tidak menunjukkan keseriusannya untuk mendorong transformasi lembaga kepolisian menuju lembaga yang professional dan kredibel di mata masyarakat. Sangat disayangkan jika Kepolisian Republik Indonesia sebagai salahsatu lembaga terdepan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di Negara ini tidak memberikan contoh yang benar.
Meskipun berbagai dalih diberikan untuk membenarkan pengangkatan dan pelantikan BG sebagai Wakapolri, publik juga dapat melihat secara jelas adanya kepentingan-kepentingan politik dan kelompok dalam pengangkatan dan pelantikan tersebut. Pelantikan BG sebagai Wakapolri setelah ditolak oleh presiden Jokowi sebagai Kapolri menunjukkan ketidakberdayaan presiden Jokowi terhadap kepentingan-kepentingan kelompok dan kepentingan politik tertentu. Lebih jauh lagi, pelantikan ini dapat menunjukkan ketidakseriusan presiden dalam menjalankan nawacita yang sudah disampaikan sendiri oleh presiden Jokowi. Lalu kemana lagi masyarakat harus berharap? Kemana semangat dan gelora KAA untuk keluar dari jerat kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan global yang tergambar dari pidato presiden Jokowi dalam pembukaan KAA?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H