Perdamaian mungkin bisa digambarkan seperti kebahagiaan, keadlian, kesehatan, dan beberapa hal yang menurut pemikiran manusia yang menguntungkan serta ideal, sesuatu yang diinginkan dan dipuja oleh setiap orang, tapi nyatanya hanya sedikit yang dapat dicapai (Webel & Galtung, 2007).Â
Perdamaian merupakan kunci dari keharmonisan sosial, pemerataan ekonomi dan keadilan politik, tetapi perdamaian juga terus-menerus pecah oleh perang dan beberapa bentuk konflik kekerasan. Johan Galtung (2007) memberikan perbedaan dalam memandang perdamaian yaitu perdamaian positif dan perdamaian negatif. Perdamaian positif menunjukan kehadiran serentak dari berbagai keadaan pikiran dan masyarakat yang diinginkan seperti harmoni, keadilan, kesetaraan, dan lain-lain. Perdamaian negatif menunjukan tidak adanya perang dan berbagai bentuk kekerasan konflik manusia.Â
Pasca Perang Dunia kedua, Jepang mengurangi persenjataannya sesuai dengan Konstitusi Jepang dan menyatakan bahwa mereka akan "selamanya meninggalkan perang sebagai hak kedaulatan negara dan ancaman atau penggunaan kekuatan sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan internasional." Untuk mencapai tujuan ini, negara ini menyatakan bahwa "angkatan darat, laut, dan udara, serta potensi perang lainnya, tidak akan pernah dipertahankan. Hak berperang negara tidak akan diakui." (Suzuki, 2017, p. 44). Sebelum tahun 1990 Jepang telah menjadi kontribusi terbesar di bidang finansial dalam UN PKO, diikuti Amerika Serikat dan Uni Soviet (Song, 1996, p. 53). Pada tahun 1950an dan 1960an, masalah memelihara perdamaian erat terkait dengan sikap Jepang kepada PBB. Dengan membatasi kekuatan militernya sendiri menjadi pertahanan diri, Jepang berupaya untuk menjadi negara yang cinta damai. Sejak saat itu strategi militer Jepang tetap dan tidak berubah, bahkan di masa Perang Dingin. Jepang sendiri menciptakan Hukum Kerjasama Internasional. Selama terjadi Krisis Teluk pada Oktober tahun 1990. Perdana Menteri Toshiki Kaifu menyerahkan RUU kerjasama perdamaian dari PBB ke Parlemen Jepang. RUU ini akan menciptakan kerjasama perdamaian di PBB dibawah naungan Perdana Menteri, hal ini memungkinkan Jepang dapat mengirim pasukan perdamaiannya seperti mengangkut bahan, menyediakan peralatan medis, dan berbagai tugas penjaga perdamaian (Suzuki, 2017, p. 46). Â
Semenjak Jepang bergabung dengan PBB pada tahun 1956, Jepang melihat keanggotaan PBB tidak hanya sebagai tanda terima kepada komunitas dunia, tetapi sebagai jaminan bahwa konstitusi pasifis Jepang akan dijunjung tinggi (Song, 1996). Secara umum tujuan dari pertahanan nasional Jepang, yaitu melindungi eksistensi negara dan menjamin keamanan bagi warga negaranya di berbagai aspek. Jepang sendiri mempunyai strategi keamanan yang biasa disebut National Security Strategy (NSS). NSS atau bahasa Jepangnya kokka hanzen hosho senryaku merupakan bentuk representasi dari prinsip-prinsip panduan keamanan Jepang, kepentingan nasional dan tujuan nasional, urusan luar negeri, dan pertahanan (Irawan, Rizki, & Zulkarnain, 2021). Strategi Keamanan Nasional pertama Jepang (diputuskan oleh Dewan Keamanan Nasional dan disetujui oleh Keputusan Kabinet pada 17 Desember 2013) dirumuskan pada tahun 2013. Dipandu oleh kebijakan Kontribusi Proaktif untuk Perdamaian berdasarkan prinsip kerjasama internasional, Undang-undang untuk Perdamaian dan Keamanan diberlakukan. Dengan demikian, Pemerintah telah menempatkan pengaturan di mana Jepang dapat menanggapi situasi keamanan dengan lancar. Sambil mempertahankan prinsip-prinsip dasar keamanan nasional Jepang, yang didasarkan pada pengaturan ini, pedoman dan kebijakan strategis dibawah Strategi ini akan secara dramatis mengubah kebijakan keamanan nasional Jepang setelah berakhirnya Perang Dunia II dari aspek pelaksanaannya (MOFA Japan, 2022).
Meski Kamboja sudah merdeka dari Prancis pada 1953, namun pada tahun 1970 terjadi perang sipil yang berlangsung lebih dari 2 dekade. Pada akhir 1970 Khmer Rouge merebut negara untuk mendirikan sebuah rezim terror, bahkan lebih buruknya perang sipil ini berubah menjadi perang proxy antara China dan Vietnam, yang membuat Vietnam menyerbu Kamboja. Hal ini kemudian membuat Khmer Rouge yang dibantu China menjadi runtuh pada tahun 1979, hal ini kemudian membuat konflik internal antara  proVietnam Heng Samrin dan aliansi anti-Vietnam tripartit, termasuk sisa-sisa Khmer Merah, faksi royalis Pangeran Sihanouk, dan faksi Son Sann yang anti-komunis (Fujishige, Uesugi, & Honda, 2022). Pada tahun 1990 Jepang menjadi tuan rumah dalam konferensi perdamaian Kamboja, yang kemudian membawa ke negosiasi Paris Peace Agreement di Tokyo, dan melibatkan 4 kelompok utama dalam konflik tersebut yakni Khmer Rouge, Heng Samrin, Sihanouk, dan Son Sann (Fujishige, Uesugi, & Honda, 2022). Hal ini merupakan dasar untuk pembangunan negara pasca konflik yang menuju kpada pemilihan umum untuk pemerintahan baru serta pembentukan otoritas transisi PBB, atau UNTAC, yang ditugaskan untuk melaksanakan pemilihan. Empat pihak penandatangan menyetujui gencatan senjata permanen dan membuat komitmen perlucutan senjata sementara juga menerima bahwa rencana ini akan diawasi oleh UNTAC. Meskipun Jepang diharapkan menjadi pendukung keuangan utama dalam rehabilitasi dan rekonstruksi dari Kamboja, itu adalah pendatang baru di bidang perdamaian dan pemeliharaan perdamaian. Namun, Jepang adalah pemain eksternal yang unik karena tidak ada negara yang upayanya masuk ke dalam tiga dimensi diplomasi, tenaga kerja, dan keuangan, bahkan di antara lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Takeda, 1998).
Selain Kamboja Jepang juga melaksanakan Peacekeeping Operation di Timor Timor. Dirikannya United Nations Mission in East Timor (UNAMET), untuk membantu referendum kemerdekaan yang dijadwalkan pada 31 Agustus 1999. Meskipun terdapat gangguan dari Indonesia yang memilih dalam referendum tersebut sangat tinggi, namun kelompok pro-kemerdekaan, dengan total suara 78,5 persen menghasilkan sebuah kemenangan (Fujishige, Uesugi, & Honda, 2022). Indonesia mengabaikan hasil suara ini dan terus melakukan tindakan destruktif seperti menghancurkan bangunan dan infrastruktur serta membunuh masyarakat. Pemerintah Jepang disini mengirimkan petugas urusan politik dan tiga petugas kepolisian sipil dimulai dari Juli 1999. Jepang menyumbang US$10,11 juta ke Dana Perwalian PBB, dan menyediakan 2.000 radio. Mengenai arti penting sumbangan material Jepang kepada UNAMET, Ian Martin mencatat bahwa "keruntuhan ekonomi Asia merupakan keberuntungan UNAMET: stok kendaraan tersedia untuk diterbangkan ke Timor Timur dari Tokyo". Terlepas dari jumlah peserta yang sedikit, Jepang diakui sebagai  kontributor utama pendanaan sukarela UNAMET (Akimoto, 2013, p. 156).
Â
 Jepang berusaha membuat kontribusi untuk melindungi dan mempertahankan stabilitas dan tatanan sistem internasional demi keamanannya, yang menjadi landasan dalam menentukan peran politik internasionalnya. Faktor keamanan seperti inilah baik secara eksternal berupa kebutuhan akan bahan mentah dan daerah pasaran maupun secara internal berupa ancaman kemandekan pertumbuhan ekonomi, menjadi satu faktor penting perlunya upaya timbal balik. Upaya timbal balik yang dimaksudkan disini berwujud berbagai bantuan yang salah satu tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas negara-negara penghasil bahan mentah dan daerah pasaran, serta tak kalah pentingnya, negara-negara yang kawasannya digunakan Jepang untuk lalu lintas perdagangannya.
Kawasan Asia Tenggara telah menjadi kawasan terpenting bagi kehidupan politik dan ekonomi Jepang, di samping karena sumber daya alam yang melimpah juga karena investasi terbesar Jepang di tanam di kawasan ini. Salah satu dari empat negara yang disebut sebagai "empat naga Asia" berada di kawasan ini yaitu Singapura. Berkaitan dengan kepentingan ini, Jepang menetapkan kebijakan yang cukup hati-hati terhadap kawasan Asia Tenggara. Jika hubungan Jepang dan para tetangga dekatnya di dataran Asia sudah dipersulit oleh faktor politik, maka hubungan dan kerja samanya dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lebih didasarkan pada hubungan perekonomian.
Kemajuan ekonomi yang pesat telah menjadikan Jepang sebagai penyalur bentuan ekonomi terbesar di dunia yang menggeserkan kedudukan Amerika Serikat tahun 1989. Dalam kepentingannya, Jepang berusaha menciptakan hubungan yang didasarkan pada saling pengertian dengan negara-negara Asia Tenggara. Setiap usaha yang dilakukan baik oleh perseorangan maupun institusi, ditujukan untuk melakukan kontak dan harmonisasi dari kebijakan di tingkat pemerintah. Pertimbangan yang diberlakukan pada pemberian bantuan Jepang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks dan meliputi faktor ekonomi, politik, dan keamanan. Misalnya kekayaan bahan mentah yang terserap Jepang, potensi pasar, dan keamanan yang diperlukan negara penerima bantuan untuk menjaga stabilitas kawasan yang juga diperlukan jepang.
Dalam kebijakan luar negeri Jepang, dikenal istilah adanya pemisahan antara politik dan ekonomi (seikei-bunri). Seikei-bunri mengandung arti bahwa peran politik Jepang di Asia Tenggara sangat terkait dengan kepentingan ekonomi Jepang. Â Kawasan Asia Tenggara selama ini telah dipersiapkan Jepang sebagai kawasan tujuan ekspor, tujuan investasi, dan sumber bahan baku bagi industri Jepang. Semua aspek-aspek tersebut, mendasari Jepang untuk lebih meningkatkan peran ekonominya dalam perdagangan, bantuan pembangunan pemerintah (Official Development Assistance /ODA), dan sumber investasi langsung (Foreign Direct Investment /FDI). Ketiga elemen diatas, telah membawa Jepang menjadi salah satu mitra dagang utama bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara (Saga, 2011).