Kabupaten Kotawaringin Barat terletak di Barat Daya Pulau Kalimantan. Pada daerah basah memiliki curah hujan lebih dari 2.000 mm per tahun dan daerah kering memiliki curah hujan kurang dari 2.000 mm per tahun. Perekonomian Kabupaten Kotawaringin Barattergantung pada sektor pertanian yang masih mempunyai peranan tinggi terhadap PDRB atas dasar harga berlaku, yaitu 43,20 %, didominasi oleh sub sektor perkebunan terutama kelapa sawit. Belakangan perkembangan perkebunan kelapa sawit di daerah ini sangat luar biasa. Salah satu efek perkembangan ini adalah alih fungsi lahan, dari tanaman pangan dialihkan menjadi lahan perkebunan sawit sehingga berdampak terhadap usaha produksi pangan, sementara Kabupaten Kotawaringin Barat bukanlah daerah ideal untuk produksi padi sebagaimana daerah lain di luar pulau Kalimantan. Tingkat kesuburan yang relatif rendah berpengaruh terhadap rerata produksi padi, hanya 2,5 ton per ha pada musim terbaik. Sudah puluhan tahun sejak sebelum kabupaten Kotawaringin Barat berdiri tahun 1959, cara konvensional dilakukan untuk menghasilkan padi, namun belum ada perubahan yang signifikan. Sudah dicoba benih unggul, pupuk, cara tanam dan bermacam teknologi tetapi hasilnya masih belum menggembirakan.
Bapak Eko terjun langsung ke tengah sawah
(Foto : dokumen pribadi bapak Eko Budi Santoso)
Tahun 2006 Bapak Eko Budi Santoso, seorang penyuluh pertanian, mulai mencoba sesuatu yang baru, yaitu System of Rice Intensification (SRI). Pada awalnya pengembangan System of Rice Intensification (SRI) hanya direkomendasikan pada lahan sawah beririgasi teknis, tetapi melalui kerja keras Bapak Eko Budi Santoso bisa membuktikan fakta bahwa SRI ternyata bisa dikembangkan pada lahan tadah hujan. Mulai mencoba SRI ini benar-benar dari nol, segala yang berkaitan dengan SRI ini dipelajar sendiri dari Internet. Yang layak diacungi jempol ialah usaha beliau mempelajari sampai ke detailnya. Semua dilakukan secara otodidak. Meskipun hanya lulusan DIII UT, pengetahuan beliau mengenai SRI layak diadu dengan profesor sungguhan. Adalah keiklasan beliau dalam berbagi ilmu, sehingga banyak dimanfaatkan orang untuk keuntungan pribadi. Bahkan ada seseorang di daerah ini yang mengkopi habis dokumen-dokumen, foto-foto dan berbagai hasil kerja beliau, yang belakangan diketahui dipergunakan untuk memperoleh kredit point kenaikan pangkatnya. Selain itu beliau juga berusaha melatih rekan-rekannya memiliki minat yang sama terhadap SRI. Kami menjuluki beliau profesor.
Membuat arang sekam (Foto : dokumen pribadi Bapak Eko Budi Santoso)
Beliau lalu memahami apa yang menjadi kendala tanaman padi di lahan-lahan disini. Ternyata yang menjadi permasalahan ialah bahwa kondisi tanah yang miskin unsur hara dengan tingkat keasaman yang tinggi. Untuk memperbaikinya dipergunakanlah unsur unsur alami, antara lain dengan Mikro Organisme Lokal (MOL) adalah cairan yang terbuat dari bahan-bahan alami sebagai media hidup berkembangnya mikro organisme yang berguna untuk mempercepat penghancuran bahan organik (proses dekomposisi menjadi kompos/pupuk organik). Di samping itu juga dapat berfungsi sebagai nutrisi tambahan bagi tanaman yang sengaja dikembangkan dari mikro organisme yang berada di tempat tersebut, dengan demikian tingkat kecukupan hara tanah menjadi ideal atau cukup subur untuk bercocok tanam padi.
Menanam bibit padi (Foto : dokumen pribadi Bapak Eko Budi Santoso)
Untuk mempertahankan agar tingkat kesuburan tanah ini dalam jangka waktu lama, solusi yang dianjurkannya ialah penggunaan arang sekam yang ditaburkan sebanyak 20 ton per hektar. Di samping itu di sekitar lahan ditanami bunga-bunga sebagai bentuk rekayasa ekologi. Dimaksudkan sebagai rumah serangga predator dan parasitoid yang merupakan  regulator alami yang penting dari populasi hama sekaligus sebagai penyerbuk alami pada saat pembungaan. Adanya berbagai jenis bunga-bungaan ini juga memperkaya keragaman jenis serangga yang tinggal di lahan.
(Foto : dokumen pribadi Bapak Eko Budi Santoso)
Tahun 2012 atau enam tahun kemudian barulah beliau menemukan roh SRI sesungguhnya, yaitu tanaman padi yang harus dihormati dan didukung sebagai makhluk hidup yang memiliki potensi besar. Potensi ini hanya akan terwujud jika kita menyediakan tanaman dengan kondisi terbaik untuk pertumbuhannya. Jika kita membantu tanaman untuk tumbuh dengan cara baru dan lebih baik, mereka akan membayar upaya kita selama beberapa kali, dengan memanfaatkan alam untuk memperbaiki daya dukungnya sendiri, mulai dari limbah organik sampai ke serangga yang bermanfaat bagi peningkatan produksi padi. Dari rerata panen 2,5 ton enam tahun kemudian berhasilkan ditingkatkan menjadi 5,96 ton. Angka ini bukanlah angka yang tinggi, terutama jika dibandingkan dengan rerata panen di Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi yang bisa mencapai angka 10 ton per hektar. Tetapi angka ini cukup memberikan harapan, bahwa suatu saat Kotawaringin Barat bisa memenuhi kebutuhan berasnya melalui produksi daerah sendiri, saat ini produksi daerah baru bisa memenuhi 30 % dari kebutuhan daerah.
Atas kerja keras yang tidak kenal lelah ini pada Tahun 2013 Bapak Eko Budi Santoso, A. Md memperoleh penghargaan sebagai pemenang Pertama Adhikarya Pangan Nusantara tingkat Provinsi Kalimantan Tengah, kategori Pelayan Ketahanan Pangan. Sayangnya saat diusulkan ke tingkat nasional tidak berhasil memperoleh penghargaan, salah satu penyebabnya karena fakta rerata panen yang hanya 6 ton per ha, jauh didibandingkan dengan daerah lain yang mencapai 10 ton per ha.
Menerima penghargaan Gubernur Kalteng Tahun 2013 pada HPS di Murung Raya
(Foto : dokumen pribadi Bapak Eko Budi Santoso)
Pada kenyataannya keberhasilan ini tidak serta merta menjadikan SRI sebagai solusi untuk mengatasi rendahnya produksi padi di daerah ini. Masalahnya metode SRI ini masih sulit dilaksanakan dari sisi non teknis, masih banyak yang skeptis bahwa metode ini akan mampu meningkatkan produksi padi di daerah ini. Sampai-sampai ada yang menganggap Bapak Eko Budi Santoso ini orang gila. Padahal jika kita perhatikan Konsep strategi induk pembangunan pertanian 2013-2045, metode SRI adalah masa depan pertanian tanaman padi negeri ini, dimana SRI direkomendasikan sebagai kurikulum penyuluhan pertanian.
Tantangannya sebenarnya ialah bahwa cara bertani padi yang bersahabat dengan alam ini masih sulit diterima sebagai cara yang benar dalam meningkatkan produksi padi. Ini dapat kita pahami bahwa cara –cara konvensional memerlukan banyak masukan pupuk kimia, benih, pencetakan lahan baru yang ujung-ujungnya memerlukan pihak ketiga untuk memasoknya. Sementara dengan SRI sangat sedikit yang bisa dipasok oleh pihak ketiga. Inilah tantangan saat ini di Kotawaringin Barat, mungkin saja tidak terjadi di daerah lain, atau saya yang ketinggalan informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H