Mohon tunggu...
Humaniora

Tugas Kuliah Desa Wisata Nglanggeran Yogyakarta

7 Juni 2018   23:17 Diperbarui: 7 Juni 2018   23:42 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kami bersih-bersih di sungai dan kembali ke homestay masing-masing. Setelah itu kami belajar tentag budaya tarian kuda lumping dan memainkannya. Untuk perempuan sendiri memainkan gending jawa, untuk yang mengajarkannya sangat muda, ternyata anak umur 13 tahun sudah mampu menguasai beberapa alat musik jawa. Luar Biasa, di tamnah keramah tamahan masyarakat desa wisata ngalanggeran kami sudah merasa desa wisata nglanggeran sebagai rumah kami

Di hari ke empat tepatnya hari terakhir kami di Nglanggeran sebelum besok memulai perjalanan kembali. Kami menaiki atau mendaki puncak gunung api purba nglanggeran. Banyak yang mampu sampai ke puncak tapi beberapa orang yang tidak bisa sampai ke puncak karena berbagai alasan. Di puncak yang tingginya sekitar 750mdpl kami melihat pemandangan yang sangat bagus, cocok untuk spot foto yang menarik, kami berfoto-foto di sana bersama angkatan 2015 khususnya. Lalu kami saat sore hari ke tempat atau kampung 7 kepala keluarga. 

Ada yang menarik dari kampung itu di karenakan kampung tersebut hanya boleh di huni dengan 7 kepala keluarga dan tidak boleh lebih, apabila lebih maka orang tersebut harus keluar dari kampung tersebut. Setelah dari kampung 7 kepala keluarga,  kami melihat atraksi kuda lumping, sekilas memang tidak ada yang aneh bahkan sangat menghibur tapi di akhir pertunjukan kami di kejutkan dengan aksi-aksi pengkuda lumping yang kesurupan. 

Al hasil beberapa penonton lari ketakutan dan beberapa pula yang merasa aksi tersebut sangat menghibur dan tidak masuk akal seperti disayat beling, dicambuk dll. Mereka sama sekali tidak terluka, pun saya sendiri heran dan berkata " waduh, ko mereka tidak kenapa-kenapa ya Hahahahahaha" setelah itu  kami bersama mobil pajero, pajero sebutan untuk kendaraan khusus di desa wisata nglanggeran. Unik memang.

Setelah itu kami malamnya menghadiri acara yang orang desa wisata ngalnggeran sebut sebagai karawitan, artinya wisatawan yang menginap selama 3 hari lebih sebelum pulang ke tempatnya masing-masing di beri penghormatan untuk makan bersama dengan para sesepuh desa wisata nglanggeran serta memahami ikon ikon adat jawa seperti keris dan blangkon. Serta di saat bersamaan sebelum kami berisirahat. Kami membakar api unggun dan menikmati malam kebersamaan dengan angkatan 2015 khusunya dan pengelola desa wisata nglanggeran.

Di hari terakhir kami permanitan dengan idung semang masing-masing, nah sebelumnya bagi yang belum tahu apa itu induk semang. Induk semang adalah pemilik dari homestay yang kita tempati apabila kita hendak berlibur dalam jangka waktu yang lama di desa wisata nglanggeran. Lalu kami berpamitan dengan beberapa induk semang lainnya dan kami lenjutkan perjalanan ke candi ratu boko, hanya untuk sekedar foto-foto dan melihat-lihat keunikan dari candi tersebut, serta melihat pemandangan gunung merapi yang bagi kami itu cukup menarik. 

Dua jam berikutnya kami melanjutkan perjalanan menuju malioboro untuk berbelanja dan setelah itu kami makan siang dan melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur untuk kunjungan terakhir kami dalam studi lapangan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Dari kesimpulan di atas Desa Wisata Nglanggeran sangat memberdayakan SDMnya dalam pengelolaan pariwisata demi kesejahteraan masyarakatnya sendiri, konsep ini lebih kita kenal dengan sebutan CBT (Community Based Tourism) yang artinya bahwa potensi pariwisata desa wisata nglanggeran di kelola oleh masyarakatnya sendiri, di rawat oleh masyarakatnya sendiri serta dampak yang di rasakan oleh keberadaan dari kegiatan pariwisata di desa nglanggeran dapat langsung di rasakan oleh masyarakatnya sendiri. 

Terbukti menurut Aris Budiyono salah satu tenaga pemasaran yang kita wawancari, beliau mengatakan bahwa " Dengan menggunakan konsep CBT, alhamdulillah mas, desa kami mampu mendapat keuntungan sebesar Rp. 1,2 Milyar dalam satu tahun, lain halnya ketika pada tahun 2014. Ketika kami berpikir yang penting wisatawan banyak yang mengunjungi desa kami maka kami hanya mendapat untung sebesar Rp. 400 juta. Lain halnya ketika kami berpikir kualitas pengunjung yang berdatangan ke desa kami itu dampak ekonominya lebih terasa. Namun, ketika kami hanya berpikir tentang kuantitas pengunjung yang tentunya dapat merusak tatanan lingkungan karena kunjungan yang tidak terkendali".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun