Ada yg melihat secara global lalu berkata : Ini era modern, yg berkualitas dan bisa memberi pelayanan yg lebih baik-lah yg akan dipilih.. Ada juga yg melihat dari sisi kepraktisan dan pelayanan : Ojek pangkalan ribet karena mesti menghampiri ke pangkalannya, ojek online tinggal pencet hp, tak lama nongol di depan pintu... Ojek pangkalan nggak ramah dan suka seenaknya kasih tarif, ojek online ada standarisasi sikap dan harga...
Tidak sedikit yang mencaci tukang ojek pangkalan dengan kalimat : bukankah rejeki itu Tuhan yg mengatur? atau pernyataan sindiran dengan kalimat : takut amat rejekinya diambil, binatang aja dijamin kok rejekinya oleh Tuhan, masa manusia yg berakal kalah ama binatang? Makanya service-nya dibagusin dong..
Kalau boleh aku analogikan, bukankah itu mirip dengan kondisi kita yang phobia terhadap Cina? Mungkin saja tukang ojek pangkalan itu adalah kita (si tradisional yg kalah modal juga kalah mental, takut terhadap perubahan, namun tidak pernah mau belajar) dan ojek online itu adalah negeri Cina atau negara lain yg kuat secara modal, mau belajar, dan cerdas memanfaat peluang, dan dunia internasional sebagai pihak yang menjudge, menyayangkan sikap kita yg serba phobia.
Mungkin kelihatannya tidak adil tapi inilah hidup..
Bukan yg terkuat yg bertahan, bukan juga yg terpintar, tapi mereka yg bisa menyesuaikan keadaan dan melihat peluang.Â
Upgrade you, upgrade Indonesia
Indonesia, BISA!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H