Aku menghabiskan waktu menunggu kekasih sukmaku yang baru bisa datang di hari ke enam. Kekasih sukmaku di mana aku pertama kali bertemu dengannya lima tahun yang lalu. Senyum manisnya, keceriaannya dan kejenakaannya menorehkan nilai tersendiri di hati.
Pertama kali kulihatnya, aku bergumam, mungkin Tuhan sedang gembira ketika menciptakanmu. Begitu indah, sempurna dan mempesona. Apakah engkau duhai cinta yang turun dari surga?
Tiap pagi selama enam hari berturut-turut, aku berjalan kaki melewati danau Salzburg, duduk sebentar sebelum lanjut menuju kota. Aku duduk diam tak bergeming. Aku menikmati pemandangannya. Cuacanya, udaranya, dan keramahan penduduk setempat. Detik demi detik, kurasakan semua. Feelnya dan imajinasi yang meletup keluar dari kepalaku, kubiarkan semua terlepas bebas di tepi danau, kubiarkan sang imajinasi berjalan liar seliar halilintar dan itu semua hanya untuk memikirkanmu, duhai cintaku. Hanya kamu. Demi kamu.
Pada akhirnya, kota indah dengan biara di atas bukit ini tak bisa menggugah hasrat hidupku lagi. Setelah dirinya pergi, danau Salzburg tak lagi menjanjikan apapun. Tak lagi bermakna. Tak lagi terasa apa-apa, selain sebuah keping kenangan berjudul rindu dibalut sepi yang berkawan dengan sendiri.
Ada satu kenangan yang masih aku ingat hingga detik ini. Ketika kami duduk bersama di tepi danau. Duduk berdua membisikkan kata cinta. Aku ingat hari itu. Kami berbicara sambil menikmati segelas Thai Tea. Dingin, lembut, dan nikmat, senikmat diriku yang menikmati memandangi wajahnya inchi demi inchi.
Namun kini, ketika dia pergi, aku kembali duduk di tepi danau, masih dengan segelas Thai tea. Kucoba menikmati Thai tea, seteguk demi seteguk, tapi begitu beda rasanya. Gelas itu, isinya masih Thai tea tapi rasanya seperti Thai tea tanpa huruf H.
**Segelas sepi berwujud Thai tea
oleh : Andrea Juliand dan Aria Sardjono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H