Saat merdeka 17 Agustus 1945, Belanda masih belum mengakui kemerdekaan kita. Belanda yang sangat miskin karena dijajah Jerman mendapatkan bantuan Pelatihan Militer dan Alat Modern dari Amerika. Bantuan tersebut dipakai untuk menyerang Indonesia karena pabrik uang mereka berada di Indonesia.
Itulah adanya Agresi Militer I alias Operasi Produk (mengamankan Produk mereka berupa semua perusahaan belanda) dan Agresi Militer II Alias Operasi Gagak untuk mengambil alih kekuasaan.
Nah, saya akan bercerita tentang Operasi Gagak di Mojokerto saja. Untuk melawan Operasi Gagak Belanda itu, di Mojokerto dikenal dengan Operasi Komando Hayam Wuruk.Â
Saya sudah sering menulis tentang ini. Terdiri dari 3 Batalyon. Tapi saya ingin bercerita tentang kisah yang jarang di dengar orang yaitu Batalyon keempat atau Condromowo.
Batalyon ini dipimpin oleh Komandan Muda yaitu Mayor Munasir. Mayor Munasir adalah legenda Mojosari yang rumahnya berada di Pekukuhan. Batalyon dengan logo Kucing Belang Telon ini membantu Operasi Komando Hayam Wuruk yang saat itu tercerai berai akibat serangan bertubi-tubi dari Belanda.
MENTAL ADALAH KEUNGGULAN
___________________________________
Melawan Belanda dengan senjata paling modern, membutuhkan mental luar biasa. Belanda harus dibuat hancur psikologisnya. Diserang saat lengah dan segera lari. Dengan demikian tentara Belanda selalu merasa tidak aman dan ketakutan.
Perbedaan mental ini lah yang digunakan untuk terus melawan Belanda.
LOGISTIK UNTUK SELALU BERJALAN LOGIS
____________________________________
Perang...........membutuhkan Manusia, Senjata, Uang. Manusia sudah siap. Senjata memakai ala kadarnya dari rampasan atau peninggalan Jepang. Tinggal uang. Uang untuk gaji, makan dan kebutuhan lainnya. Gaji masih dijanjikan cair dan kelak cair tahun 1950 (Setelah belanda Hengkang)
Dari mana? Sumbangan Rakyat. Rakyat banyak menyediakan logistik untuk Tentara. Belanda berusaha memotong logistik itu dengan memberikan uang, makanan dan lainnya untuk rakyat. Tetapi Rakyat tetap memilih bersama Republik.
Nah, saya kembali bercerita tentang Condromowo. Karena rakyat melindungi Tentara yang sedang berjuang, Belanda putus asa. Mulailah menyerang warga sipil. Walaupun rakyat melindungi TNI, tapi ada segelintir rakyat yang tidak ingin hidup susah. Mereka bekerja untuk belanda dengan dibayar mahal.
Menjadi Mata Mata!!
Dengan adanya mata-mata ini, keluarga personel Condromowo terancam. Banyak yang ditangkap dan disiksa Belanda hanya untuk mengetahui keberadaan Batalyon Condromowo (Pelanggaran perang ini sampai sekarang tidak pernah diangkat ke ranah hukum)
Hal ini menjadikan Batalyon Condromowo harus melarikan keluarganya. batu adalah tujuan utama. Dengan akses sulit (Jembatan Cangar saat itu belum ada, hanya dua batang pohon raksasa saja). Jadi, keluarga diboyong dari Mojosari ke Pacet.
Truk mini Toyota GB mondar mandir Mojosari Pacet untuk membawa Tentara Condromowo beserta anggota keluarganya. Malang. Rombongan terakhir yang berisi keluarga Mayor Munasir tercium oleh Belanda dan diserang di daerah Kembangsore.
Kontak senjata sempat terjadi. Walaupun dimenangkan oleh pihak Batalyon Munasir (Sebutan lain Yon Condromowo) tetapi sempat ada tembakan yang melukai kaki Rozi Munir putra Mayor Munasir. Kelak Rozi Munir menjadi Menteri BUMN.
Nah, perjalanan dimulai. Dengan membawa logistik baik biaya pribadi tentara dan jug sumbangan rakyat sebelum dan selama perjalanan, Tentara Batalyon Condromowo ini bagaikan melewati supermarket raksasa.
Semua ada di sini.
Beras, Ubi, Bumbu dan lainnya dijumpai dengan mudah. Bahkan 4 ekor sapi sudah dituntun selama perjalanan untuk bekal dipotong di perjalanan yang sangat berat. Suhu dingin dan medan sulit ditembus. Hanya jalan setapak.
Malang benar, bekal berupa sapi terjatuh di jembatan cangar yang dulu hanya dua batang pohon. Dua sapi itu mati dan tinggal dua sapi.
Saat melewati Pacet, bawang putih dan bawang merah didapatkan. Dalam perjalanan menembus hutan, kemiri, salam, keluwek juga tersedia di hutan. Sampai Kyai Munasir menyeletuk.
"Wis, nggawe rawon wis pepek (Sudah, membuat rawon sudah lengkap)." Karena melihat semua ada di perjalanan.
Dengan sikap siap, ada seorang prajurit yang langsung mengambil keluwek di pohon untuk dijadikan rawon.
"Ngawur ae, iki racun. Kudu diolah. Durung perang mungsuh Londo wis mati ndhisiki (Ngawur saja, ini racun, Harus diolah. Belum perang lawan Belanda nanti sudah mati duluan)." terang Mayor muda ini.
Lantas......Harus bersabar untuk rawon.
Keluwek diambil dibalur dengan abu bekas pembakaran api saat malam dan ditanam. Tanda "kuburan keluwek" pun dipatok pada atasnya.
Singkat cerita, sampailah di Batu dan Istri Mayor Munasir meninggal di sana karena terlalu letih dan penyakit paru. Saat kembali ke Pacet untuk berperang, Rakyat Batu menyumbangkan 4 sapi lagi. Logistik kembali seperti supermarket.
Inilah saatnya rawon!!
Dengan semangat para tentara kembali ke Pacet. Digalilah "kuburan keluwek" yang dulu ditanam. Keluwek diambil.....dan diolah dengan semua bumbu yang tersedia.
Jadilah rawon!! Disajikan dengan pincuk daun pisang yang banyak di hutan dan sendok dari daun pisang juga namanya suru. Semua lengkap. kecuali.....
GARAM
"Gak enak!!! Gak asin!!" Kata banyak anggota Condromowo.
Maklum Garam merupakan barang mewah saat itu. PT Garam sebelumnya sudah diambil oleh Belanda dalam Operasi Produk. Semua garam dijaga agar masuk ke PT Garam sebagai lumbung uang Belanda. Hasilnya, hambaaar....
Itulah cerita bagaimana Tentara yang menjaga kedaulatan Seperti ikan.......dan Rakyat sebagai air yang membuat ikan selalu kuat menghadapi segala ancaman.
Dirgayahu TNI....Bersama Rakyat TNI Kuat..
#penulis #mojokerto #firi #firitri #humaninterest #perempuan #menulis #penulismojokerto #cerita #ceritamojokerto #penulis_mojokerto #kisah #character #womaninwork #writing #writer #tni #haritni #dirgahayu #armedforces
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H