Saya ini hanya menceritakan Keluarga Mayor Munasir yang melakukan perjalanan. Otomatis diikuti oleh para tentara lain dengan keluarganya juga. Jika 500 orang anggota Batalyon jelas membawa keluarga menjadi ribuan orang.
Kalau saya cerita semua itu waaah, pasti bisa jadi satu buku ceritanya, jadi saya cerita tentang Mayor Munasir saja.
Logistik saat itu dengan membawa beras, kambing hidup, sapi hidup dan ayam. Untuk sayuran dapat memakai dedaunan di perjalanan. Sapi, kambing, ayam adalah sumbangan dari penduduk tetapi banyak juga dari sumbangan keluarga Mayor Munasir dengan menjual perhiasan Ibu Muslichah istri Mayor Munasir.
Dengan membawa truk diantar bergantian karena 4 truk kecil Toyota GB dari tentara Jepang harus beberapa kali mengantar ke Pacet untuk selanjutanya berjalan dari Pacet ke Batu.
Rombongan pertama adalah Prajurit tanpa keluarga sampailah di Pacet. Rombongan kedua Tentara perwira dengan keluarganya.
Malang, sampai Petak (Hotel Sativa sekarang) intel Belanda mencium gerakan ini. Dihadanglah Rombongan KH Munasir dan keluarganya. Sempat terjadi tembak menembak yang melukai kaki Moch Imam Rozy Munir. Putra pertama Mayor Munasir yang kelak menjadi Menteri Koordinator Perekonomian.
Kontak senjata terus terjadi karena kalah jumlah (mungkin data intelejen kurang valid) tentara Belanda ini mati semua. Perjalanan pun dilanjutkan.
Medan yang berat membuat banyak yang sakit. Apalagi melewati jurang demi jurang. Puncaknya melewati Jembatan cangar yang hanya gelondongan kayu.
"Mooooo!!!" Sapi yang dipakai bekal ada yang mengamuk dan membuat sapi dibelakangnya juga senewen. Akibatnya terpeleset dan...
"Wiiiiiiing...blug..blug!" 2 sapi jatuh ke jurang sedalam 80 meter lebih itu.
Tapi sampai di Batu tidak ada seorang pun menjadi korban. Kecuali....