Impian orang tua jaman dulu, mempunyai anak seorang sarjana yang dapat bekerja dengan layak. Ah, itu karena masa kolonial memang pekerjaan layak hanya dinikmati para kulit putih dan kaum ningrat saja.Â
Menjadikan impian hampir semua orang mempunyai pekerjaan enak dengan gaji tinggi seperti kalangan ningrat. Tetapi bagaimana lagi, pendidikan mahal dan sulit dijangkau pada saat itu.
Hingga ada seorang pribumi pertama bernama Sosrokartono meraih gelar sarjana pada masa kolonial. Kakak kandung RA Kartini ini pada tahun 1897 mendapat kesempatan emas belajar ke Negeri Belanda dalam rangka Politik Balas Budi Pemerintah Belanda.
Belajar di Polytechnische School jurusan Teknik Sipil dapat diselesaikan dalam 2 tahun saja jauh lebih cepat daripada teman-temannya yang harus 4 tahun lulus.Â
Selain mempelajari teknik, Kartono juga mengasah kemampuan bahasa, dalam catatan Sosrokartono menguasai 17 bahasa asing. Lulusnya Sosrokartono ini disinyalir 29 September 1899 yang dijadikan tonggak sebagai Hari Sarjana Nasional.
Walaupun di catatan sejarah belum jelas apakah benar itu adalah hari kelulusan Sosrokartono. Tetapi contoh nyata kemampuan sarjana pada level kemampuan Sosrokartono.
Sarjana yang diambil dari bahasa sansekerta mengandung arti orang yang pandai dalam ilmu pengetahuan, jadi wajar jika Sosrokartono adalah ikon sarjana. Saat ini sarjana dipakai sebagai sebutan gelar derajat akademik lulusan perguruan tinggi.
Kemampuan sarjana saat ini, apakah setara dengan ikon sarjana Sosrokartono? Wah, ini saya tidak tahu karena saya tidak mengukurnya. Bagaimana menurut pendapat anda?
Kita runtut saja bahwa mutu sarjana jelas berbanding lurus dengan mutu perguruan tinggi yang mengasah kemampuan akademik sekaligus jam terbang seorang sarjana selama masa pendidikan.
Untuk mengukur kemampuan akademik sudah menjadi hal mudah karena ada akreditasi program studi maupun akreditasi institusi pada perguruan tinggi. Jika akreditasi bagus jelas mutu sarjana sebagai keluaran bagus pula.
Untuk aplikasi ilmu di masyarakat, banyak sarjana yang melenceng jauh dari disiplin ilmunya. Ini termasuk saya . Memang masalah sih.....tapi juga tidak masalah...
masalahnya ya berarti kita membuang waktu untuk mempelajari hal yang tidak kita gunakan untuk kehidupan kita. Tidak masalahnya, kita dapat berkembang dengan ilmu yang kita dapat dari kehidupan kita.
Saya banyak mendapatkan ilmu dari proses kehidupan saya. Untungnya sekarang semua ilmu yang saya dapatkan dari proses kehidupan itu dapat diakui kompetensi kemampuan saya. Sejak adanya Perpres No 9 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Dengan ini apa yang saya lakukan dengan prosedur yang sudah ditetapkan akan mudah diukur dan dijadikan pengakuan terhadap Capaian Pembelajaran (CP) yang saya peroleh dari pendidikan formal atau non formal atau informal, dan/atau pengalaman kerja pada jenjang pendidikan tinggi, dimulai dari level 3 KKNI atau (Program D1) sampai dengan jenjang kualifikasi level 9 KKNI (Program Doktor).
Masa depan yang dibutuhkan adalah kompetensi atau ahli di bidangnya. Tidak perlu mengambil kuliah jika mahir di bidangnya pasti dapat berguna bagi masyarakat.Â
Kuliah? tentu sangat perlu karena untuk mahir di bidangnya jalan yang singkat adalah kuliah. Saya dulu kuliah di jurusan IPA dan sekarang terjerumus di dunia sosial kemasyarakatan. Tidak masalah karena kompetensi saya.
Dengan demikian saya lebih percaya diri menatap masa depan karena walaupun pendidikan saya bukan di human interest, public speaking dan penulis, saya tetap dapat optimis karya saya diapresiasi dan diakui kompetensi saya dalam mengembangkan karir sebagai penulis dan MC.
Untuk yang belum terjerumus dengan pendidikan yang salah seperti saya? ya jangan sampai membuang waktu.
Temukan potensi diri sedini mungkin.Â
Buat cita-cita serealistis mungkin. Dalam hidup memang mengalir saja tetapi tetap memerlukan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran dan Strategi Pencapaian.
Temukan sasaran anda dalam target angka, misalkan saya kan menjadi penulis top dalam 4 tahun.....lalu dibuat strategi pencapaian untuk mencapai target tersebut dari tahun ke tahun dengan milestone yang terukur. Strateginya harus menempuh pendidikan sastra atau komunikasi, melahirkan karya tiap 6 bulan sekali dan lainnya hingga 4 tahun tercapai.
Jangan terlalu lama menemukan potensi diri seperti saya. Apapun itu, saya selalu menikmati dan mensyukuri semua apa yang saya lalui. Karena dengan proses itu saya menemukan cinta sejati  dan itu yang tidak ada dalam Kerangka Kompetensi Nasional Indonesia bahkan dalam nomenklatur keilmuan yaitu menjadi sarjana Cinta....
Selamat hari Sarjana..(firitri)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H