Saya sejak kecil sangat suka membaca sejarah. Tanggal 19 September menurut saya sangat heroik karena saat itu adalah pertama kali bangsa bernama Indonesia melawan aggressor asing.
Alkisah, di pagi hari WV Ch. Ploegman yang secara sepihak diangkat NICA menjadi walikota Surabaya memprovokasi warga dengan mengibarkan benera Belanda merah putih biru di kamar No 33 Hotel Yamato (sekarang hotel Majapahit) Jalan Tunjungan Surabaya. Ribuan warga marah dan mendatangi gedung itu.
"Londo ngamuk, londo ngamuk (Belanda Mengamuk, Belanda mengamuk)!" teriak banyak warga yang marah.
Aksi warga dihalangi oleh tentara jepang yang ditugaskan oleh sekutu menjaga status quo. Residen Sudirman saat itu menjadi orang yang dituakan di Surabaya mendatangi Ploegman bersama pengawalnya.Â
Diceritakan Ploegman melecehkan Indonesia dan mengambil pistol untuk ditembakan ke Residen Sudirman. Pengawal residen Sudirman menyerang Ploegman dan keduanya meninggal dunia.
Residen Sudirman diselamatkan dan massa semakin tidak terkontrol naik ke atap kamar 33 untuk menurunkan bendera merah putih biru, menyobek warna birunya dan menyisakan merah putih dengan ukuran janggal karena lebih panjang untuk dikibarkan kembali.
Kematian Ploegman ini menjadi hal yang sudah diketahui banyak pihak. Setiap tanggal 19 September ada reka ulang perobekan bendera di tempat yang sama dengan peserta para anak muda pegiat sejarah. Salut saya untuk mereka yang penghobi sejarah.
Kematian Ploegman ini dianggap wajar karena dia dianggap menyerang pejabat negara dan melecehkan Indonesia. Hingga...........
Saksi sejarah Eddie Samson, warga Asem Rowo Surabaya mengatakan Ploegman dibunuh massa dengan cara dibacok saat menyeberang jalan Tunjungan.
 Eddie Samson saat itu berusia 11 tahun dan menyelamatkan diri ke belakang Gedung pertanahan. Suasana saat itu chaos karena sentimen terhadap Peranakan Belanda dan Eddie Samson terpisah dari orang tuanya selanjutnya menyelamatkan keluar kota melalui pelabuhan Tanjung Perak.
Kesaksian Eddie Samson ini pernah dimuat di buku edisi lux belanda "Soerabaja, Beeld van een stad" dan Harian terbesar di Indonesia juga pernah memuatnya. Kesaksian ini sangat ditentang oleh pegiat sejarah Surabaya.Â