8. Â BEGASINGAN
Permainan ini membutuhkan alat berupa kayu yang dibentuk bulat dengan ukuran 5-15 cm yang lazimnya disebut gasing. Kemudian tali yang terbuat dari sejenis rumput yang dianyam sedemikian rupa sebagai alat pemutar gasing yang disebut "alit". Tidak ada jumlah minimal untuk bermain gasing ini. Setiap pemain harus melilitkan tali dengan rapi tanpa saling bertindihan di bagian atas gasing.Â
Lantas jika sudah siap pemain harus melempar gasing dengan teknik khusus sehingga bagian bawah gasing yang akan menyentuh tanah dan berputar. Penilaian permainan ini ditentukan berdasarkan lama perputaran gasing dan ada pula yang saling mengadu gasingnya untuk ditentukan yang paling lama berputar.
9. Â BELOMPONGAN
Belompongan berasal dari kata "belompong" atau "begelompong" yang artinya menggelinding. Permainan ini harus beregu dengan jumlahnya yang tidak tertentu namun setiap regu jumlah pemainnya sama.Â
Alat yang dibutuhkan adalah bola dan batu/kayu sebagai penanda di tengah arena permainan yang disebut "patok". Bola yang digunakan bisa berupa bola kasti atau tenis. Namun jaman dahulu digunakan buah jeruk muda sebesar bola kasti. Bisa juga menggunakan daun pisang kering yang digulung-gulung kemudian diikat.Â
Ada juga yang memakai sobekan-sobekan kain yang digulung membulat membentuk bola. Permainan dimulai dengan pengundian siapa yang bertugas sebagai pihak dalam dan pihak luar. Biasanya pihak dalam akan bertugas memukul bola dan pihak luar yang berusaha menangkap bolanya untuk kemudian digelindingkan ke arah patok.Â
Permainan dianggap selesai jika pihak luar dapat menangkap bola yang dipukul pihak dalam tanpa menyentuh tanah sebelumnya, jika pihak luar bisa menggelindingkan bola mengenai patok dan bola yang dipukul pihak dalam tidak sampai garis "mati" yang sudah ditentukan sebelumnya.
10. KIDENG
Kideng diartikan sebagai mencari sesuatu dengan hati-hati. Jumlah pemainnya tidak tertentu sesuai berapa anak yang ingin ikut bermain, setidaknya minimal ada 6-10 anak agar permainan lebih seru.Â
Permainan diawali dengan pengundian atau "ompimpa" dan bagi yang paling terakhir kalah akan "jari" atau istilah untuk jadi. Mata anak yang jadi itu harus ditutup dengan sepotong kain atau penutup mata lainnya. Sebelum matanya ditutup, ia akan berusaha mengingat ciri-ciri pemain lainnya, baik dari bentuk wajah, hidung, rambut hingga pakaian yang digunakan.Â
Setelah matanya ditutup, maka pemain lain akan berjalan memutari pemain yang jadi sambil menyanyikan "ore-ore terong masak, ringga nganjeng, rasa bente rasa siap, pak deng tombek ndaq beng saling oyek".Â
Setelah lagu selesai serentak mereka jongkok, kemudian pemain yang jadi tadi mendekati salah seorang yang jongkok untuk ditebak. Ia akan berusaha mengenalinya dengan cara meraba-raba. Semua pemain lain harus diam terkadang sambil menahan geli melihat temannya diraba-raba.Â
Pemain yang diraba pun harus diam sebab jika bersuara akan mudah dikenali dan jika tertebak maka dia yang akan kena hukuman untuk menggantikan anak yang jadi sebelumnya. Andai tebakannya salah, maka mereka akan berjalan melingkarinya lagi seperti di awal.
11. Â KUDUNG
Kudung diartikan tutup, di Desa Sakra permainan ini disebut juga "tambe", filosofinya pemain harus berusaha menutup jalan lawannya agar tidak lolos. Jumlah pemain kudung setidaknya terdiri dari 4 sampai 8 orang agar seru. Tidak dibutuhkan peralatan khusus, yang penting dibuat sebuah garis lingkaran besar di tanah.Â
Permainan dimulai dengan pengundian atau "ompimpa" bagi yang kalah paling terakhir akan "jari" atau istilah untuk anak yang jadi. Anak yang jadi tadi berada di luar garis lingkaran dan yang lainnya di dalam lingkaran.Â
Pemain yang jadi tadi harus berusaha menyentuh pemain di dalam baik anggota tubuh maupun pakaiannya dengan syarat kedua kaki si "jari" atau pemain yang jadi harus menyentuh tanah atau tidak terangkat. Bagi yang tersentuh maka ia akan "jari" dan menggantikan di luar garis. Bagi pemain di dalam lingkaran jika keluar dari lingkaran pun berarti kena hukuman untuk menggantikan yang jadi.
12. Â BERAU
Berau berarti melakukan/menirukan bunyi "au u u...". Bunyi itu adalah menirukan suara "sendero" yaitu alat kecil yang biasanya dipasang di leher burung merpati. Ketika merpati terbang maka akan mengeluarkan suara au u u dari alat itu. Permain ini beregu yang jumlah tidak tertentu yang penting sama tiap regunya.Â
Permainan diawali dengan pengundian melalui "sut" untuk menentukan pihak dalam dan pihak luar. Setelah sut lalu dilanjut dengan membuat perjanjian tentang daerah bebas, ketentuan pemenang dan ketentuan hukuman bagi yang kalah. Daerah bebas biasanya berupa garis, tongkat atau pohon sebagai penanda.Â
Setelah ditentukan daerah bebas, maka semua anggota pihak dalam masuk ke daerah bebas. Dilanjutkan oleh pihak dalam yang berusah mengejar anggota pihak luar untuk ditangkap sembari berbunyi "au..u..u". Jika saat mengejar napasnya tidak kuat maka ia harus kembali ke daerah bebas dan anggota pihak luar boleh mengejar balik untuk ditangkap.Â
Jika ia tertangkap sebelum sampai daerah bebas maka ia akan masuk menjadi anggota pihak luar dan berlaku sebaliknya. Permainan ditentukan pemenangnya jika jumlah yang tertangkap sudah memenuhi persyaratan saat perjanjian di awal. Bagi yang kalah akan mendapat hukuman yang lazimnya di kalangan anak-anak suku Sasak biasa disebut "nyenggeq" yang artinya pihak yang kalah harus menggendong pihak yang menang di atas punggung.
13. TEK-TEKAN
Permainan tek-tekan memanfaatkan alat dari bahan kayu yang sudah dikelupas atau dihilangkan kulitnya. Satu bagian kayu lebih panjang dengan ukuran 30-35 cm dan bagian kayu yang pendek dengan ukuran 10-12 cm. Permainan diawali dengan pengundian untuk menentukan pihak yang pemenang yang bertugas mengungkit (tim pengungkit) kayu yang pendek untuk dilempar sejauh-jauhnya dan pihak yang kalah (tim penangkap) bertugas menangkap kayu tersebut. Jika pihak kayu dari tim pengungkit berhasil ditangkap tim penangkap maka tim pengungkit dianggap kalah, namun bila gagal ditangkap maka tim penangkap harus melemparkan kayu pendek tadi ke kayu yang lebih panjang di mana sebelumnya diletakkan terlebih dahulu di tanah. Apabila kena maka permainan berhenti dan sebaliknya maka permainan dilanjutkan.
Salah satu lembaga/institusi yang bisa melestarikan khazanah permainan tradisional anak adalah perpustakaan, khususnya Perpustakaan Umum/Perpustakaan Daerah Kabupaten/Kota. Belum lama ini ada program PISA (Pusat Informasi Sahabat Anak) yang digagas oleh Kementerian PPPA yang mana perpustakaan menjadi ikonnya.Â
Ketersediaan sarana permainan tradisional anak menjadi salah satu indikator penilaiannya menuju PISA yang ramah anak dan terstandardisasi. Tidak hanya dari segi koleksi buku bacaan anaknya, kegiatan permainan tradisonal anak ini pun bisa saja dicoba dan dihidupkan kembali melalui kegiatan-kegiatan di perpustakaan yang melibatkan peran aktif anak-anak yang berkunjung. Ayo ke perpustakaan.
DAFTAR BACAAN:
Siradz, Umar, dkk. Permainan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.
Sudirman. Gumi Sasak Dalam Sejarah (Bagian 2). Pringgabaya: KSU "Primaguna" kerjasama PUSAKANDA, 2012.
Sudirman, dkk. Kerajinan dan Kesenian Tradisional Lombok. Pringgabaya: KSU "Primaguna" kerjasama PUSAKANDA, 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H